KOMPAS.com - Angka kasus pandemi virus corona terus melonjak di Amerika Serikat (AS), imbas dari beberapa negara bagian secara gegabah melonggarkan pembatasan lockdown.
Angka kasus virus corona yang masih terus meningkat tersebut, kemudian mendorong para ahli medis dan ilmuwan untuk tak hentinya mengarahkan masyarakat menggunakan masker.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari The Daily Beast Kamis (8/7/2020), disebutkan angka kasus terinfeksi virus corona ada sekitar lebih dari 3 juta orang dan angka kematiannya ada sekitar 131.000 orang.
Sementara ini, para ahli penyakit menular belum bisa memperkirakan akhir dari pandemi virus corona.
Sehingga, pusat pengendalian dan pencegahan penyakit meminta masyarakat menggunakan masker kain yang dapat mencegah droplet yang menyebar di udara.
Kepala Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, Dr Anthony Fauci mengatakan "sangat mendukung" aturan pemerintah yang mengamanatkan penggunaan masker.
Meski sangat membantu untuk mencegah penyebaran virus corona, ada banyak orang Amerika yang memprotes aturan penggunaan masker.
Melihat masih banyaknya masyarakat yang menentang aturan itu, Kepala Pelayanan Kesehatan Publik AS, Jerome Adams, mendesak masyarakat untuk dapat mengerti situasi pandemi virus corona yang terjadi saat ini.
“Tolong, tolong, tolong, kenakan masker saat Anda pergi ke tempat umum. Itu bukan ketidaknyamanan. Itu bukan penindasan terhadap kebebasan Anda,” ujar Adams.
Baca juga: Positif Corona, Presiden Brasil Jair Bolsonaro Lepas Masker dan Ingin Jalan-jalan
Adams mengungkapkan bahwa sebenarnya penggunaan masker adalah cara untuk mencapai tujuan bersama, yaitu memulihkan keadaan menjadi normal yang bisa memberikan kenyamanan untuk semua orang.
Berikut ada 5 mitos terhadap penggunaan masker yang berusaha dijelaskan oleh pihak ahli, yang dilansir dari The Daily Beast pada Kamis (9/7/2020) :
Pakar paru-paru di OSF HealthCare, Michael Peil, mengatakan penggunaan masker dalam jangka panjang tidak akan membuat karbondioksida yang dikeluarkan dari pernapasan, tertumpuk di dalam masker.
“Jadi saat menggunakan masker, karbon dioksida akan melewati serat masker dan kita dapat menghirup udara segar lagi. Jadi benar-benar tidak ada peluang karbon dioksida untuk menumpuk di dalam masker yang dapat membahayakan kita," ujar Peil.
Peil menyebutkan mitos penggunaan masker menyebabkan keracunan karbondioksida itu "tidak masuk akal."
"Dia juga telah meneliti bahwa karbondioksida tidak dapat melekat pada serat masker. Oleh karena itu, tidak dapat dihirup kembali,"
Bahkan jika itu terjadi, ia menyebutkan karbondioksida yang mungkin terhirup dalam jumlah kecil.
"Tapi faktanya, itu tidak terjadi begitu saja," ujarnya.
Seorang dokter di South Carolina, Megan Hall bahkan menguji saturasi oksigen dan detak jantungnya sendiri menggunakan pulse oximeter dalam empat situasi, yaitu tanpa topeng, dengan masker bedah, dengan topeng N95, dan dengan kedua topeng.
Baca juga: Orang Kaya India Beli Masker Emas, Harganya Setara 11.400 Porsi Sempol
“Tidak ada perubahan signifikan dalam saturasi oksigen saya dalam skenario apa pun. Meskipun, mungkin tidak nyaman untuk beberapa orang, Anda masih bisa bernapas,” tulis Hall dalam unggahan Facebook.
Dosen Keperawatan untuk Johns Hopkins Biocontainment Unit dan Pakar Praktik Pencegahan Covid-19, Jade Flinn mengatakan mitos masker dapat berbahaya untuk orang yang memiliki gangguan pernapasan, tidak benar.
"Orang-orang mungkin memiliki kecemasan sendiri untuk mengenakan masker, tetapi belum ada bukti medis yang mendukung klaim bahwa masker menyebabkan masalah pernapasan," kata Flinn.
Asisten profesor di Yale School of Medicine, Ellen Foxman menyebutkan masker memiliki berbagai jenis bahan yang bisa memengaruhi keluasaan bernapas. Orang dengan masalah pernapasan, ia sarankan menggunakan masker kain.
"Jika Anda memiliki masker kain, Anda bisa bernafas lebih mudah. Jika Anda memiliki masker N95 yang dikenakan oleh para profesional medis, lebih sulit untuk bernafas karena memiliki pori-pori yang sangat kecil,” terang Foxman.
Foxman mengatakan bahwa orang yang memiliki gangguan pernapasan justru ditekankan untuk menggunakan masker untuk mengahadapi kondisi pandemi virus corona.
Sebab, individu yang memiliki penyakit asma atau penyakit paru-paru kronis, dikatakannya lebih berisiko tinggi terserang Covid-19.
"Masker tidak menyebabkan asma, tetapi mereka yang memiliki masalah pernapasan harus berhati-hati memiliki masker," ujar Foxman.
Baca juga: Peneliti: Orang yang Tidak Memakai Masker Seharusnya Dicap Anti-Sosial
Seorang Ahli Paru-paru di OSF HealthCare, Michael Peil, mengatakan orang-orang yang memiliki gangguan pernapasan, seperti asma harus menghindari penggunaan masker yang ketat.
Kemudian, harus mengonsultasikan kondisinya kepada dokter, jika mereka memiliki masalah dalam pemakaian masker.
“Jika orang memiliki penyakit pernapasan yang sangat parah dan mereka tidak bisa memakai masker kain, mereka harus melepas maskernya secara berkala. Ini akan memungkinkan mereka untuk menyegarkan diri dan lebih merasa nyaman,” kata Peil.
Ketika pandemi virus corona pertama kali menyerang AS, awalnya warga diimbau untuk tidak memakai masker agar pekerja medis memiliki persediaan cukup guna berhadapan dengan virus corona yang dibawa oleh pasien terinfeksi Covid-19.
Dosen Keperawatan untuk Johns Hopkins Biocontainment Unit dan Pakar Praktik Pencegahan COVID-19, Jade Flinn mengatakan sekarang, masyarakat tahu bahwa masker wajah membantu mencegah penyebaran virus corona antar-manusia, terutama mereka yang tidak menunjukkan gejala.
Masker memberikan lapisan perlindungan ekstra dan mencegah individu menyentuh mulut dan hidung mereka yang berpotensi tercemar virus corona.
“Akan selalu ada tingkat risiko tertentu yang kita miliki dengan pergi ke luar rumah, dengan tidak mengenakan masker dan tidak mencuci tangan kita. Alangkah lebih baik untuk melakukan tindakan pencegahan tertular virus corona. Sekali pun, jika itu tidak nyaman," ujar Flinn.
Para ahli mengatakan bahwa mitos ini sangat berbahaya dan merupakan kebalikan dari kenyataannya.
Baca juga: Pakar Perkirakan Warga AS Akan Pakai Masker Selama Bertahun-tahun
Dosen Keperawatan untuk Johns Hopkins Biocontainment Unit dan Pakar Praktik Pencegahan COVID-19, Jade Flinn mengatakan bahwa virus corona ini menular bukan seperti cacar air.
Ada orang yang dahulu dengan sengaja membuat anaknya tertular cacar air agar kebal dengan penyakit tersebut.
Flinn memperingatkan bahwa antibodi hanyalah sebagian kecil dari respon sistem kekebalan tubuh terhadap Covid-19 .
"Masalahnya di sini adalah bahwa virus corona bukan penyakit ringan, jadi orang yang sakit benar-benar sakit," kata Flinn.
“Kami tidak memiliki cukup bukti tentang apakah orang bisa sakit dua kali dari Covid-19. Kami belum cukup tahu," tambah Flinn.
Dokter Perawatan Primer, Mikhail "Mike" Varshavski, atau yang dikenal dengan Dr Mike di YouTube, juga berupaya untuk menghilangkan mitos masker dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
Menurutnya, penggunaan masker tidak boleh dikaitkan dengan pelemahan sistem kekebalan tubuh.'
Para pengunjuk rasa di Florida bersikeras, penggunaan masker melanggar hak-hak konstitusional mereka, tetapi mereka tidak bisa mengabaikan atau dibebaskan dari aturan mengenakan masker di negara bagian yang masih mewajibkannya.
Baca juga: Penumpang Bandel Pakai Masker Asal-asalan, Operator Imbau dengan Bau Badan
Di Washington, ada regulasi Americans with Disabilities Act (ADA), yang disebutkan bahwa penggunaan masker "memiliki risiko mental dan / atau fisik".
Hal itu kemudian, dimanfaat pihak-pihak yang tidak ingin mematuhi penggunaan masker untuk membuat kartu dan selebaran palsu.
Mereka yang tidak ingin menggunakan masker kemudian menyebarkan kartu dan selebaran palsu, untuk mengklaim bahwa dirinya memiliki kondisi fisik atau mental yang dilindungi oleh UU ADA.
Kementerian Kehakiman AS langsung angkat suara dengan menyatakan, selebaran yang beredar itu tidaklah akurat.
“Banyak dari pemberitahuan tidak akurat itu mengambil cap Departemen Kehakiman dan nomor telepon ADA,” kata kementerian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.