Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Disinformasi dan Teori Konspirasi Virus Corona Menelan Korban Jiwa

Kompas.com - 31/05/2020, 12:41 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

KOMPAS.com - Para ahli menyatakan potensi kerusakan akibat desas-desus, teori konspirasi dan informasi keliru bisa sama berbahayanya dengan virus itu sendiri. Berikut adalah hasil pelacakan tim BBC.

"Saya kira berita soal virus ini karangan pemerintah saja," kata Brian Lee Hitchens, 46 tahun, "Maka kami tak ikut aturan jaga jarak," katanya dari rumah sakit di Florida lewat telepon.

Di kamar sebelah, istrinya sedang kritis, dibius dan dipasangi ventilator karena paru-parunya mengalami inflamasi dan tubuhnya tak merespon.

Sesudah membaca berbagai teori konspirasi, pasangan ini beranggapan Covid-19 cuma hoaks. Setidaknya mereka pikir itu setara flu ringan. Awal bulan Mei, keduanya terkena Covid-19.

“Sekarang saya sadar virus corona itu nyata,” katanya sambil tersengal. BBC melacak misinformasi terkait virus corona ini dan menemukan korbannya nyata di seluruh dunia.

Di India, terjadi serangan akibat desas-desus yang beredar daring. Di Iran terjadi keracunan massal. Di Inggris seorang teknisi telekomunikasi diserang. Di Arizona, sepasang suami istri keracunan produk pembersih.

Baca juga: Termakan Konspirasi, Warga Rusia Tuduh Dokter Diagnosis Covid-19 demi Uang

Keracunan disinfektan

Akhir bulan Maret, Wanda dan Gary Lenius mendengar hydroxychloroquine.

Pasangan ini melihat adanya bahan yang namanya mirip tertera di label sebuah botol yang tergeletak di rumah mereka di Phoenix, Arizona.

Hydroxychloroquine mungkin punya potensi melawan virus, tetapi sampai kini belum terbukti. Hari Senin (25/05) WHO menghentikan penggunaannya dalam uji coba sesudah sebuah kajian memperlihatkan hydroxychloroquine meningkatkan risiko kematian pada pasien Covid-19.

Spekulasi tentang efektivitas zat itu beredar di China akhir Januari. Banyak media yang mencuitkan kajian lama bahwa zat itu sempat dites sebagai obat anti virus.

Lalu seorang dokter Prancis mengaku ada hasil yang menggembirakan. Sekalipun banyak yang skeptis, ketertarikan terhadap hydroxychloroquine meningkat, hingga sampai ke Gedung Putih dalam cuitan Presiden Trump.

"Apa ruginya?" kata Trump tanggal 3 April. "Minum saja." Pertengahan Mei, ia bahkan mengaku minum obat itu.

Overdosis akibat obat jarang terjadi, tetapi kecemasan akibat pandemi membuat orang mengambil langkah ekstrem.

Di Nigeria, banyak orang terpaksa dirawat rumah sakit akibat keracunan hydroxychloroquine hingga pihak berwenang mengeluarkan peringatan untuk tidak mengkonsumsi obat itu.

Awal Maret, seorang pria Vietnam berusia 43 tahun dibawa ke rumah sakit, keracunan karena menelan terlalu banyak chloroquine.

Wajahnya merah padam dan tak bisa melihat dengan jelas. Dokter yang menangani mengatakan, si pria beruntung karena cepat ditangani.

Gary Lenius termasuk yang tidak beruntung. Ia dan istrinya Wanda, minum cairan pembersih yang komposisi kimianya berbeda.

Beberapa menit saja mereka merasa kepanasan dan pusing, lalu muntah-muntah dan sulit bernapas. Gary meninggal, sementara Wanda dirawat.

Wanda menjelaskan mengapa mereka minum cairan itu: "Menurut Trump itu obat," katanya.

Baca juga: Trump Mengaku Tak lagi Konsumsi Obat Malaria Hidroksiklorokuin

Keracunan alkohol

Di Iran, pihak berwenang mengatakan ratusan orang meninggal karena keracunan alkohol setlah mendengar desas-desus bahwa alkohol bisa menyembuhkan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com