RIYADH, KOMPAS.com - Gencatan senjata sepihak diumumkan koalisi yang dipimpin Arab Saudi, dalam perang melawan pemberontak Houthi di Yaman. Keputusan ini memiliki dua sisi, sebagai harapan dan keraguan tersendiri.
Gencatan senjata selama dua minggu ini dimulai sejak Kamis (9/4/2020), dengan dalih agar tidak membahayakan warga sipil Yaman dari ancaman virus corona.
Pemberontak Houthi yang didukung Iran, belum secara resmi menanggapi keputusan tersebut, dalam konflik yang telah berlangsung lima tahun ini.
Baca juga: Demi Tangani Virus Corona, Arab Hentikan Serangan ke Houthi 2 Minggu
Namun, Yasser Al-Houri selaku sekretaris dewan politik Houthi, menanggapi deklarasi itu dengan skeptis, mengatakan bahwa Arab "tidak jujur dan melanggar setiap gencatan senjata yang mereka umumkan".
"Pengumuman gencatan senjata ini adalah untuk menghindari visi nasional sebenarnya yang menawarkan solusi nyata," kata Al-Houri dikutip dari AFP.
Ia merujuk pada program perdamaian yang diumumkan para pemberontak pada Rabu, tak lama sebelum Arab menyatakan gencatan senjata.
Jika gencatan senjata benar-benar terjadi, maka akan menjadi terobosan pertama sejak pihak-pihak yang bertikai menyetujui gencatan senjata yang diperantarai PBB di Swedia akhir 2018.
Baca juga: Terkait Perjanjian Damai dengan Arab Saudi, Houthi Suarakan 5 Tuntutan
Uni Emirat Arab (UEA) sekutu kunci dalam koalisi yang menurunkan pasukannya tahun lalu ketika konflik semakin pelik, memuji tindakan Arab sebagai "bijaksana dan bertanggung jawab".
"Ini adalah keputusan penting yang harus dibangun di atas, pada tingkat kemanusiaan dan politik," tulis Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash di Twitter-nya.
Inisiatif berdamai ini muncul menyusul meningkatnya pertempuran antara pihak-pihak yang bertikai, meski PBB telah menyerukan penghentian segera demi melindungi warga sipil di negara termiskin jazirah Arab tersebut.
Arab Saudi mengatakan, masa gencatan senjata dapat diperpanjang dan dapat membuka jalan bagi solusi politik yang lebih luas.
Baca juga: Penyebaran Virus Corona dan Ancaman Lonjakan Kasus Covid-19 di Arab Saudi...
Negeri "Petrodollar" mulai meluncurkan invasi militernya pada Maret 2015, untuk mendukung pemerintah Yaman yang diakui secara internasional.
Para pejabat mengindikasikan mereka tertarik untuk mengadakan pertemuan tatap muka yang disponsori PBB dengan para pemberontak, untuk mencapai gencatan senjata permanen.
Akan tetapi beberapa jam sebelum pengumuman, Houthi merilis dokumen komprehensif yang menyerukan penarikan pasukan asing dan berakhirnya blokade koalisi di darat, laut, dan pelabuhan udara Yaman.
Mereka juga menuntut agar koalisi membayar gaji pemerintah untuk dekade berikutnya, dan menyerahkan kompensasi untuk pembangunan kembali negara termasuk rumah-rumah yang hancur akibat serangan udara.
Baca juga: Wabah Corona, Arab Saudi Berlakukan Larangan Bepergian 24 Jam
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyambut baik tawaran gencatan senjata dan mendesak pemerintah serta Houthi untuk melakukan negosiasi.
Sebelumnya Guterres juga sudah menyerukan "gencatan senjata global segera" untuk membantu mencegah bencana bagi orang-orang rentan di zona konflik.
"Hanya melalui dialog para pihak dapat menyepakati mekanisme untuk mempertahankan gencatan senjata nasional, kemanusiaan, dan langkah-langkah pembangunan kepercayaan ekonomi," ucap Guterres dikutip dari AFP.
Ia pun menekankan langkah tersebut untuk mengurangi penderitaan rakyat Yaman, dan memulai kembali proses politik untuk mencapai penyelesaian yang komprehensif untuk mengakhiri konflik.
Baca juga: Rusia Bertemu Arab Saudi Besok, Harga Minyak Dunia Naik 5,5 Persen
Gencatan senjata dilakukan ketika Arab Saudi terhuyung akibat jatuhnya harga minyak.
Media AFP menyebut, Arab berupaya lepas dari konflik yang menelan banyak biaya dan menewaskan puluhan ribu orang Yaman, yang oleh PBB disebut sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Sistem perawatan kesehatan Yaman yang rusak sejauh ini tidak mencatatkan satu pun kasus Covid-19, tetapi kelompok-kelompok bantuan telah memperingatkan bahwa jika nantinya terjadi kasus, maka akan jadi bencana besar.
Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit turut memuji tawaran gencatan senjata sebagai "kesempatan langka" untuk menghentikan pertumpahan darah di Yaman.
Baca juga: Siapkan Rp 6,8 Triliun, Putra Mahkota Arab Saudi Bakal Beli Klub Liga Inggris
Tensi antara kedua kubu akhir-akhir ini meningkat lagi antara pasukan Houthi dan pasukan pemerintah Yaman yang didukung Riyadh, di sekitar wilayah Al-Jouf dan Marib, mengakhiri jeda selama berbulan-bulan.
Di akhir Maret, pertahanan udara Arab menggagalkan serangan rudal Houthi di atas Riyadh dan kota perbatasan Jizan. Sebanyak dua warga sipil terluka dalam serangan tersebut.
Itu adalah serangan besar pertama di Arab Saudi sejak Houthi menawarkan gencatan senjata pada September 2019, setelah menyerang instalasi minyak Arab Saudi.
Kemudian pekan lalu koalisi melakukan beberapa serangan udara di ibu kota Yaman yang dikuasai pemberontak, sebagai balasan atas serangan rudal tersebut.
Baca juga: Uni Emirat Arab Perpanjang Penutupan dan Disinfeksi Ruang Publik
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.