Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mantan Pejabat Afghanistan yang Melarikan Diri Hidup Mewah, Tinggalkan Rakyatnya dalam Krisis dan Bencana

KABUL, KOMPAS.com - Sejumlah mantan pejabat Afghanistan hidup mewah setelah melarikan diri dari negaranya ketika Taliban mengambil alih negara miskin itu Agustus lalu.

Al Jazeera melaporkan beberapa minggu terakhir sejumlah laporan muncul dari elit Afghanistan dan beberapa mantan pejabat dari pemerintah Kabul yang didukung Barat.

Mereka dilaporkan tinggal di kondominium mewah di Dubai dan vila-vila tepi pantai di California sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan.

Kondisinya kontras dengan puluhan ribu orang Afghanistan, yang juga meninggalkan tanah airnya tetapi masih merana di kamp-kamp pengungsi sempit di seluruh dunia.

Belum lagi jika dibandingkan dengan rakyat Afghanistan yang masih berjuang hidup dalam kelaporan dan bencara di negaranya, di mana lebih dari 1.000 orang tewas dan 10.000 rumah hancur setelah gempa kuat melanda pekan lalu.

Mantan pejabat Afghanistan, termasuk pembantu mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, menghabiskan jutaan untuk membeli properti di Dubai dan AS selama tahun-tahun terakhir pemerintah yang didukung Barat, menurut laporan terbaru oleh Wall Street Journal.

Wabah korupsi di pemerintahan Afghanistan

Seorang pengawas AS mengatakan awal bulan ini bahwa jutaan dollar hilang dari istana presiden dan Direktorat Keamanan Nasional selama pengambilalihan Taliban Agustus lalu.

Uang itu tetap tidak ditemukan, meskipun Ghani tidak mungkin melarikan diri dengan jutaan uang tunai, menurut pengawas.

Mantan presiden itu pindah ke Abu Dhabi tepatnya di hotel bintang lima St Regis, yang terkenal di dunia, setelah meninggalkan Afghanistan. Dia sekarang tinggal di UEA.

Puluhan ribu warga Afghanistan, yang bekerja untuk pasukan AS dan NATO, diterbangkan saat pasukan AS menarik diri dari negara itu setelah 20 tahun perang.

Tetapi, banyak dari mereka terjebak di pusat pemrosesan pengungsi di seluruh dunia dengan masa depan yang tidak pasti.

Laporan korupsi dari pemerintah Afghanistan dan penyelewengan dana di negara, yang sebagian besar bergantung pada bantuan itu, menyoroti bagaimana orang Afghanistan – baik pengungsi maupun yang ada di negara itu – telah gagal karena elit pemerintah mereka.

Khalid Payenda, menteri keuangan Afghanistan terakhir, yang disebutkan dalam laporan Wall Street Journal karena memiliki properti di AS, telah membantah tuduhan tersebut.

Payenda, yang mengungkap korupsi di pemerintah Afghanistan, mengatakan masalah korupsi Afghanistan telah diketahui secara luas dan bahkan dieksploitasi oleh banyak jaringan dan pemangku kepentingan.

“Korupsi mewabah dalam arti tidak hanya ada di tingkat nasional tetapi juga di tingkat sub-nasional, dan di semua cabang pemerintah, eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif,” katanya kepada Al Jazeera.

Bencana kelaparan di tanah air

Gadis-gadis Afghanistan masih dilarang bersekolah di sekolah menengah dan perempuan semakin dikucilkan dari kehidupan publik, mengembalikan ingatan ke rezim Taliban terakhir pada 1990-an.

Taliban kini berjuang untuk menghidupkan kembali ekonomi yang dilanda perang setelah Barat menjatuhkan sanksi dan AS membekukan dana bank sentralnya setelah menarik pasukan.

“Saya memberikan tahun-tahun terbaik dalam hidup saya untuk membangun kembali negara ini, untuk mendidik generasi pemikir berikutnya. Dan sekarang di sinilah saya, rentan dan bahkan tidak mampu menghidupi keluarga saya sendiri, sementara mereka yang tidak melakukan apa pun untuk negara ini hidup nyaman,” kata Mina, seorang profesor universitas yang hanya ingin disebut dengan panggilannya.

Wanita Afghanistan itu membangun karir lebih dari 10 tahun, dengan bekerja sebagai profesor yang disegani dan menjadi pembicara terkemuka tentang hak-hak perempuan di Afghanistan. Nama universitasnya tidak disebutkan karena alasan keamanan.

Pekerjaannya telah sangat terpengaruh karena meningkatnya pembatasan Taliban terhadap perempuan. Banyak dari kelasnya telah dibatalkan, gajinya dipotong, padahal penyalurannya pun tersendat-sendat.

Kini dia belum dibayar selama berbulan-bulan, dan sering menghadapi pelecehan dari penjaga Taliban karena keluar tanpa mahram (pengawal pria).

“Kami kelaparan dan saya merasa sangat putus asa, terutama ketika saya melihat bahwa mereka yang meninggalkan kami dalam situasi ini hidup dengan nyaman,” Mina, yang berbasis di Afghanistan, mengatakan kepada Al Jazeera.

Lebih dari 22 juta warga Afghanistan menghadapi kerawanan pangan, menurut Program Pangan Dunia PBB, ketika negara itu menghadapi keruntuhan ekonomi. Isolasi diplomatik Taliban tidak membantu situasi.

Perjuangan hidup di pengungsian

Sementara itu, warga Afghanistan yang terpaksa mengasingkan diri juga berjuang untuk bertahan hidup.

Menurut laporan Uni Eropa yang dirilis pada Mei, ada lebih dari 3 juta warga Afghanistan yang tinggal di Pakistan.

Sebanyak 775.000 di antaranya tidak berdokumen, dan sebagian besar hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi di permukiman informal di negara tersebut. Sebagian besar dari mereka melarikan diri karena konflik empat dekade terakhir di negara ini.

Mereka kini menyaksikan dengan sakit hati saat mantan pejabat yang korup lolos dari tanggung jawabnya.

“Saya memiliki penghasilan yang memuaskan dan jujur, dan yang terpenting saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan karena membantu negara kita. Saya tidak membayangkan di sinilah saya akan berakhir hari ini,” Dr Kamaluddin Koshan (34 tahun) mengatakan kepada Al Jazeera.

Sebelum pengambilalihan Taliban, Koshan adalah seorang jurnalis yang berbasis di Kabul dan kemudian bekerja menjadi dokter untuk melayani rakyat.

Sebagai pengungsi, kini dia sering bergantung pada sedekah dan amal, di negara tetangga Pakistan. Dia juga harus berbagi ruang satu kamar kecil yang suram dengan istri dan tiga anaknya, semuanya berusia di bawah delapan tahun.

Anak-anak Koshan kini putus sekolah karena dia tidak kesulitan mencari makanan untuk mereka, apalagi membiayai pendidikan mereka.

"Terkadang anak-anak saya meminta buah-buahan dan saya bahkan tidak mampu membelinya untuk mereka... (tapi) Bahkan mereka harus putus sekolah karena saya tidak mampu membayar biaya mereka. Setiap hari mereka kehilangan pendidikan, masa depan mereka dipertaruhkan,” katanya, kelelahan terbersit dalam suaranya.

Sementara ancaman Taliban memaksa Koshan tetap di pengasingan, dia juga menyalahkan mantan pejabat Afghanistan yang korup atas kesengsaraannya.

“Mereka (pejabat korup) menjarah semua milik negara selama 20 tahun. Mereka menunjuk satu sama lain dalam posisi berpengaruh, dan kemudian saling memberi penghargaan,” katanya, suaranya meninggi karena marah.

“Ada begitu banyak nepotisme dan diskriminasi di antara para elit, dan sama sekali tidak ada rasa kesetiaan terhadap Afghanistan,” katanya.

Koshan, yang pernah menaruh kepercayaan kuat pada demokrasi Afghanistan, adalah orang yang kecewa.

“Mereka menyuruh kami bekerja untuk negara, bahkan ketika mereka membangun kehidupan di luar negeri, dan kami ditinggalkan saat keadaan menjadi lebih buruk,” katanya, merujuk pada pelarian presiden Afghanistan pada 15 Agustus 2021 yang memicu keruntuhan negara itu.

 

https://www.kompas.com/global/read/2022/07/04/212900970/mantan-pejabat-afghanistan-yang-melarikan-diri-hidup-mewah-tinggalkan

Terkini Lainnya

[UNIK GLOBAL] Majikan Bunuh Diri, PRT Diwarisi Rp 43,5 Miliar | Karyawan Nekat ke Italia demi Makan Pizza Padahal Besok Kerja

[UNIK GLOBAL] Majikan Bunuh Diri, PRT Diwarisi Rp 43,5 Miliar | Karyawan Nekat ke Italia demi Makan Pizza Padahal Besok Kerja

Global
Tak Ada yang Bicara Perubahan Iklim di Pemilu India, Apa Sebabnya?

Tak Ada yang Bicara Perubahan Iklim di Pemilu India, Apa Sebabnya?

Global
Di Texas, Orangtua Bisa Dipenjara Jika Tinggalkan Anak Sendirian dalam Rumah

Di Texas, Orangtua Bisa Dipenjara Jika Tinggalkan Anak Sendirian dalam Rumah

Global
Turkiye Setop Berbisnis dengan Israel, Pakar: Akan Sulitkan Ankara

Turkiye Setop Berbisnis dengan Israel, Pakar: Akan Sulitkan Ankara

Global
Tentara Israel Diserang Ratusan Lebah di Gaza Selatan

Tentara Israel Diserang Ratusan Lebah di Gaza Selatan

Global
Kritikan Paling Keras AS untuk Israel, Dituduh Mungkin Langgar Hukum Internasional

Kritikan Paling Keras AS untuk Israel, Dituduh Mungkin Langgar Hukum Internasional

Global
Ukraina Evakuasi Ratusan Orang dari Kharkiv Usai Serangan Rusia

Ukraina Evakuasi Ratusan Orang dari Kharkiv Usai Serangan Rusia

Global
Sekitar 300.000 Warga Palestina Dilaporkan Mengungsi dari Rafah Timur

Sekitar 300.000 Warga Palestina Dilaporkan Mengungsi dari Rafah Timur

Global
Pria Rusia Dituntut karena Mewarnai Rambutnya Kuning, Biru, dan Hijau

Pria Rusia Dituntut karena Mewarnai Rambutnya Kuning, Biru, dan Hijau

Global
Otoritas Cuaca AS Sebut Dampak Badai Matahari Kuat yang Hantam Bumi

Otoritas Cuaca AS Sebut Dampak Badai Matahari Kuat yang Hantam Bumi

Global
Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Global
Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Global
3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

Global
Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Global
China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke