Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yohanes Enggar
Editor dan Konten Marketer

Editor Kompas.com, memiliki minat bidang pendidikan, parenting, dan juga seputar dunia marketing komunikasi. Saat ini menggawangi konten marketing KG Media. Penganut #enggarisme; menikmati hal-hal sederhana dalam hidup dan membuka diri terhadap berbagai perspektif baru. 

Mendudukkan soal "Ferienjob", Magang Merdeka, dan Kasus TPPO

Kompas.com - 28/03/2024, 08:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARU-baru ini, publik dikejutkan dengan kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok program magang internasional "Ferienjob".

Melansir berbagai pemberitaan media arus utama setidaknya 1.047 mahasiswa dari 33 perguruan tinggi menjadi korban.

Ada dugaan jumlah mahasiswa dan kampus jauh lebih besar (ada menyebut 41 kampus), namun tidak muncul ke permukaan lantaran mahasiswa dan kampus tidak berani bersuara karena berbagai alasan.

Kompas.com mengangkat artikel eksploitasi kerja berkedok magang merupakan pola kasus lama yang terus berulang sejak tahun 2005 dan menimpa mahasiswa dan pelajar kita yang magang di luar negeri tidak hanya di Jerman melainkan juga negara lain seperti Jepang dan Malaysia.

Janji yang diberikan pun mirip, mulai dari konversi magang menjadi SKS, tambahan uang yang bisa mengganti atau bahkan melebihi biaya keberangkatan, pengalaman kerja, hingga pengalaman belajar internasional.

Lalu bagaimana kemudian mendudukan persoalan ini yang secara lebih komprehensif? Mari kita kupas satu persatu:

1. Apakah program Ferienjob ilegal?

Ferienjob, secara harfiah berarti "pekerjaan liburan" dalam bahasa Jerman, adalah program kerja sementara yang ditujukan untuk pelajar dan mahasiswa.

Program ini memungkinkan mereka bekerja paruh waktu selama libur sekolah atau universitas, biasanya selama musim panas (Juni-Agustus) atau musim dingin (Desember-Februari).

Biasanya berlangsung selama 2-3 bulan, namun bisa juga lebih pendek tergantung pada kesepakatan dengan pemberi kerja.

Yang perlu dicatat, umumnya pekerjaan yang ditawarkan memang tidak membutuhkan keahlian khusus, seperti di sektor pertanian, pariwisata (hotel, restoran), perawatan anak, atau pekerjaan retail.

Jadi bisa ditegaskan, Ferienjob tidak termasuk kegiatan magang bersifat akademis dan lebih tepat dikatakan sebagai program kerja paruh waktu atau part-time.

Dari sisi penggajian, upah Ferienjob minimum di Jerman diatur secara hukum, dan peserta Ferienjob akan menerima gaji sesuai dengan ketentuan tersebut. Apakah jumlahnya layak dengan jam kerja yang diberikan oleh mahasiswa kita?

Rasanya akan fair jika dilakukan perbandingan dengan program sejenis di negara lain (Australia, misalnya) terkait asas kepatutan pengupahan ini. Pun perlu dilakukan penyelidikan lebih dalam jika terjadi perbedaan upah antara warga lokal dan mahasiswa kita.

Jadi pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah program resmi pemerintah Jerman Ferienjob benar mengeksploitasi tenaga kerja mahasiswa kita?

Rasanya akan sulit dibuktikan karena menyangkut kredibilitas negara dan mengingat program ini diakui pemerintah setempat.

Kemungkinan lain adalah: apakah program magang mahasiswa Indonesia benar menggunakan skema program Ferienjob atau ada oknum perusahaan/lembaga/perorangan yang mencatut upah dan nama program ini? 

Pihak kepolisian sudah menegaskan bahwa program Ferienjob legal, namun disalahgunakan oleh oknum agensi di Indonesia.

2. Apakah mereka "korban" dari Magang Merdeka Kemendikbudristek?

Dapat dipastikan adalah program Ferienjob bukan program kerja sama bilateral dua negara, dalam hal ini Jerman dan Indonesia.

Jadi sulit mengaitkan Ferienjob sebagai salah satu bagian dari program Magang Merdeka dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) digagas Kemendikbudristek. Kemenlu dan Surat Edaran Kemendikbud menegaskan hal ini.

Persoalannya, informasi dari beberapa universitas, program Ferienjob ini kemudian "diperdagangkan" oleh oknum yang kini ditetapkan sebagai salah satu tersangka (merupakan salah satu guru besar universitas di Jambi) sebagai program magang internasional yang seolah menjadi bagian Magang Merdeka.

Beberapa kampus bahkan melansir seminar atau MoU terkait program ini sebagai bagian dari komitmen kampus mewujudkan program Kampus Merdeka.

Namun, ada pula kampus yang menawarkan program ini secara mandiri kepada mahasiswa, hanya sebagai informasi jika ada mahasiswa yang tertarik.

Apakah kampus-kampus ini kemudian berani atau berinisiatif sendiri memberangkatkan mahasiswanya melakukan magang internasional tanpa menginformasikan dan berkoordinasi kepada Kemendikbudristek?

Jika tidak, maka apa yang menjadi teguran Kemenko PMK agar kampus memiliki kehati-hatian dalam mengirimkan mahasiswa magang ke luar negeri harus menjadi perhatian pendidikan tinggi kita.

Gerak cepat Kemendikbud dalam menyadari "celah" yang dapat dimanfaatkan oknum tidak bertanggungjawab menjadi langkah positif dan perlu mendapat apresiasi, serta diharapkan kejadian ini tidak berulang di kemudian hari.

3. Mahasiswa kita korban "perdagangan manusia"?

Tanpa mengurangi simpati terhadap adik-adik yang menjadi korban, penulis sepakat dengan tulisan kolom Aznil Tan Direktur Eksekutif Migrant Watch berjudul: Kasus "Ferienjob" Jerman Bukan Perdagangan Orang.

Mengutip tulisan beliau, TPPO hanya bisa disematkan pada pelaku apabila di dalamnya ada kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, atau penipuan.

Korban TPPO dalam kendali seseorang atau sekelompok orang untuk dieksploitasi agar mendapatkan keuntungan. Biasanya korban TPPO banyak terjadi pada anak-anak dan perempuan.

Harapannya tentunya hal ini tidak meluruhkan semangat aparat penegak hukum kita untuk terus mengusut tuntas kasus ini.

Kita mendukung penegak hukum agar di akhir cerita dapat memberikan efek jera dengan hukuman yang tegas dan keras kepada pihak-pihak yang mengambil keuntungan pribadi atas penderitaan adik-adik mahasiswa yang sedang membangun mimpi besar melalui program magang internasional ini.

Untuk pengusutan rasanya menjadi mudah karena pihak kepolisian telah memiliki data kampus-kampus yang mengikuti program ini dari tersangka.

Dari situ pihak kepolisian dan kampus dapat bekerja sama melakukan inventarisasi dan pendataan apakah kasus ini benar-benar dialami oleh ke-1.047 mahasiswa program Ferienjob sehingga tidak menjadi informasi yang simpang siur.

Jangan-jangan tidak seluruh 1.047 mahasiswa mengalami ekspoitasi tenaga kerja, melainkan dapat dipilah jika ada persoalan kendala bahasa, culture shock, atau persoalan kesehatan yang sifatnya pribadi.

Tentunya hal ini perlu dilakukan dalam kerangka melindungi dan berempati kepada adik-adik mahasiswa kita jika nanti ditemukan banyak fakta dan data yang menjadi korban langsung akibat eksploitasi kerja maupun dampak tidak langsung, misal berhutang untuk berangkat ke sana.

Dengan demikian akan mudah dalam mendudukan dan memilah kasus hukumnya secara pasti tanpa terdistorsi banjir informasi atau tergoda untuk mengeneralisir persoalan menjadi bola salju disinformasi yang bergerak liar.

Harapannya, kita semua sungguh-sungguh belajar sehingga kasus seperti ini tidak kembali berulang.

Mekanisme pengawasan guna melindungi adik-adik mahasiswa yang mengambil program magang internasional perlu segera dibuat dan diimplementasikan sehingga kita tetap memiliki keberanian dan kepercayaan diri mengirimkan calon-calon SDM unggul kita belajar hingga ke negeri seberang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com