Penggunakan banyak model ujian terstandarisasi sebagai bentuk akuntabilitas eksternal menimbulkan homogenitas kebijakan pendidikan global. Muncul tawaran-tawaran solusi terstandarisasi untuk memperbaiki kinerja pendidikan.
Kedua, berfokus pada mata pelajaran inti (core subjects). Mata pelajaran inti yang dimaksud adalah literasi, numerasi dan sains. Pengetahuan dan kerampilan dasar membaca, menulis dan matematika dielevasi sebagai target utama (prime targets) dan indeks reformasi pendidikan.
Konsekuensi dari penggunaan hasil survei Program for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) sebagai kriteria kinerja pendidikan yang baik, kemampuan literasi, numerasi dan sains menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan siswa, guru, sekolah dan sistem pendidikan.
Akibatnya, mata pelajaran lain seperti IPS, Seni, Musik, Sejarah dan Pendidikan Jasmani kurang mendapat perhatian di sekolah.
Ketiga, mengadopsi cara berisiko kecil untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi eksperimentasi, mengurangi pendekatan pedagogi alternatif dan membatasi pengambilan risiko di sekolah dan ruang kelas.
Penekanan lebih diarahkan pada standar yang telah ditetapkan dan prioritas pada mata pelajaran inti.
Hal ini menyempitkan esensi atau makna pengajaran dan pembelajaran dan akhirnya guru lebih fokus pada konten-konten tertentu (guaranteed content) untuk menyiapkan siswa sukses dalam ujian terutama ujian terstandarisasi.
Lalu muncul kecenderungan guru mengajar untuk membantu siswa mendapat nilai tinggi dalam ujian terstandarisasi (teaching for the test) seperti Ujian Nasional, Ujian Sekolah Berstandar Nasional, Kompetisi Sains Nasional, Olimpiade Sains Nasional, dll.
Menjelang UN, misalnya, sekolah berubah menjadi tempat kursus UN karena guru lebih fokus menyiapkan siswa menghadapi UN melalui kegiatan latihan soal, drilling dan mengajarkan tips-tips mengerjakan soal yang benar.
Akhibatnya guru menjadi kurang berani melakukan eksperimentasi karena dibatasi oleh standar yang telah ditetapkan.
Keempat, penggunaan model manajemen korporasi. Kebijakan, gagasan dan prinsip tata kelola bisnis diadopsi ke dalam pengelolaan pendidikan.
Istilah-istilah manajemen bisnis digunakan di sektor pendidikan seperti kinerja, akuntabilitas, output, outcome, standarisasi, sertifikasi, akreditasi, dll.
Pengelolaan pendidikan tidak lagi didasarkan pada tujuan-tujuan moral pembangunan manusia, tapi dikendalikan oleh hegemoni negara dan keuntungan ekonomi.
Pengelolaan pendidikan dikendalikan oleh faktor-faktor di luar pendidikan (negara, kepentingan bisnis, dll).
Hal ini berdampak pada terbatasnya peran pengembangan kebijakan negara dan pemberdayaan kemampuan diri untuk melakukan pembaharuan. Hal ini juga menghambat guru dan sekolah untuk belajar dari masa lalu dan belajar dari sesama guru atau sekolah.