Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gerakan Reformasi Pendidikan Global, PISA, dan Kurikulum Merdeka

PISA merupakan studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama, yaitu membaca, matematika, dan sains.

Tes ini bersifat diagnostik yang digunakan untuk memberikan informasi berguna untuk perbaikan sistem pendidikan. Indonesia telah berpartisipasi dalam studi PISA mulai 2000.

Sebagai bagian dari upaya standarisasi pendidikan secara global, PISA tidak dapat dilepaskan dari Global Education Reform Movement (GERM) yang diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia terutama dalam Kurikulum 2013.

Karena itu, penting untuk memahami arah reformasi pendidikan di Indonesia sejak Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka dalam kerangka GERM.

Kebijakan pendidikan bagian dari kebijakan publik

Kebijakan pendidikan negara tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan publik yang lebih luas. Hal ini terkait dengan bagaimana sektor-sektor publik yang lain memengaruhi atau terkoneksi dengan kebijakan pendidikan.

GERM atau Gerakan Reformasi Pendidikan Global muncul pada 1980-an dan banyak diadopsi sebagai ortodoksi reformasi pendidikan dalam banyak sistem pendidikan di berbagai belahan dunia seperti Amerika, Inggris, Australia, Korea, China, dll.

GERM sering dipromosikan melalui berbagai kepentingan badan/lembaga pembangunan (World Bank, OECD, European Union, dll) dan korporasi dengan melakukan intervensi dalam reformasi pendidikan suatu negara dan perumusan kebijakan.

Itulah sebabnya OECD melalui salah satu programnya Program for International Student Assessment (PISA) selalu menjadi rujukan pemerintah dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan termasuk di Indonesia. Hasil PISA menjadi tolok ukur kinerja pendidikan suatu negara.

Perbaikan-perbaikan pendidikan lebih banyak didasarkan pada hasil rekomendasi PISA. Asesmen/ujian terstandarisasi yang diterapkan di banyak negara seperti Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) di Indonesia dan National Assessment Program-Literacy and Numeracy (NAPLAN) di Australia juga menyerupai PISA, yaitu berbasis literasi dan numerasi.

Lima pilar reformasi pendidikan versi GERM

Dalam melakukan perubahan di sektor pendidikan, GERM menginisiasi lima pilar reformasi pendidikan, yaitu standarisasi, penekanan pada matapelajaran inti (core subjects) terutama literasi dan numerasi, penggunaan cara berisiko kecil untuk mencapai tujuan pendidikan, penerapan model manajemen korporasi dalam pengelolaan pendidikan, dan penerapan akuntabilitas eksternal dalam bentuk ujian terstandarisasi (standardized tests).

Pertama, standarisasi pendidikan. Reformasi pendidikan berbasis outcome popular pada 1980-an. Kemudian diikuti kebijakan pendidikan berbasis standar pada 1990-an yang diinisiasi oleh negara-negara Anglo Saxon (Inggris, Amerika, Irlandia dan Australia).

Fokus perhatian bergeser ke outcome pendidikan, yaitu hasil belajar siswa dan kinerja sekolah.

Sebagai konsekuensi, muncul keyakinan di kalangan pengambil kebijakan pendidikan bahwa menetapkan standar tinggi bagi siswa, guru dan sekolah akan membantu memperbaiki kualitas outcome yang diharapkan.

Penerapan sistem ujian dan evaluasi eksternal (Program for International Student Assessment (PISA), Ujian Nasional, Ujian Sekolah Berstandar Nasional, akreditasi, Ujian Kompetensi Guru, dll) untuk mengukur pencapaian standar.

Penggunakan banyak model ujian terstandarisasi sebagai bentuk akuntabilitas eksternal menimbulkan homogenitas kebijakan pendidikan global. Muncul tawaran-tawaran solusi terstandarisasi untuk memperbaiki kinerja pendidikan.

Kedua, berfokus pada mata pelajaran inti (core subjects). Mata pelajaran inti yang dimaksud adalah literasi, numerasi dan sains. Pengetahuan dan kerampilan dasar membaca, menulis dan matematika dielevasi sebagai target utama (prime targets) dan indeks reformasi pendidikan.

Konsekuensi dari penggunaan hasil survei Program for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) sebagai kriteria kinerja pendidikan yang baik, kemampuan literasi, numerasi dan sains menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan siswa, guru, sekolah dan sistem pendidikan.

Akibatnya, mata pelajaran lain seperti IPS, Seni, Musik, Sejarah dan Pendidikan Jasmani kurang mendapat perhatian di sekolah.

Ketiga, mengadopsi cara berisiko kecil untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi eksperimentasi, mengurangi pendekatan pedagogi alternatif dan membatasi pengambilan risiko di sekolah dan ruang kelas.

Penekanan lebih diarahkan pada standar yang telah ditetapkan dan prioritas pada mata pelajaran inti.

Hal ini menyempitkan esensi atau makna pengajaran dan pembelajaran dan akhirnya guru lebih fokus pada konten-konten tertentu (guaranteed content) untuk menyiapkan siswa sukses dalam ujian terutama ujian terstandarisasi.

Lalu muncul kecenderungan guru mengajar untuk membantu siswa mendapat nilai tinggi dalam ujian terstandarisasi (teaching for the test) seperti Ujian Nasional, Ujian Sekolah Berstandar Nasional, Kompetisi Sains Nasional, Olimpiade Sains Nasional, dll.

Menjelang UN, misalnya, sekolah berubah menjadi tempat kursus UN karena guru lebih fokus menyiapkan siswa menghadapi UN melalui kegiatan latihan soal, drilling dan mengajarkan tips-tips mengerjakan soal yang benar.

Akhibatnya guru menjadi kurang berani melakukan eksperimentasi karena dibatasi oleh standar yang telah ditetapkan.

Keempat, penggunaan model manajemen korporasi. Kebijakan, gagasan dan prinsip tata kelola bisnis diadopsi ke dalam pengelolaan pendidikan.

Istilah-istilah manajemen bisnis digunakan di sektor pendidikan seperti kinerja, akuntabilitas, output, outcome, standarisasi, sertifikasi, akreditasi, dll.

Pengelolaan pendidikan tidak lagi didasarkan pada tujuan-tujuan moral pembangunan manusia, tapi dikendalikan oleh hegemoni negara dan keuntungan ekonomi.

Pengelolaan pendidikan dikendalikan oleh faktor-faktor di luar pendidikan (negara, kepentingan bisnis, dll).

Hal ini berdampak pada terbatasnya peran pengembangan kebijakan negara dan pemberdayaan kemampuan diri untuk melakukan pembaharuan. Hal ini juga menghambat guru dan sekolah untuk belajar dari masa lalu dan belajar dari sesama guru atau sekolah.

Kelima, kebijakan akuntabilitas berbasis ujian/test. Kinerja sekolah dan siswa diukur dari proses akreditasi, promosi, inspeksi, sertifikasi, kejuaraan dan penghargaan.

Berhasil tidaknya guru dan sekolah diukur dari hasil ujian terstandarisasi (UN, PPG, dll.) dan evaluasi guru secara eksternal yang diukur dari kemampuan atau skill tertentu seperti Matematika, Literasi atau hasil ujian akhir.

Sekolah dinilai hebat kalau salah satu siswanya menjadi juara Olimpiade Sains, misalnya. Atau guru-guru dianggap profesional kalau sudah memiliki sertifikat pendidik dengan mengikuti semua proses sertifikasi guru tanpa perlu melihat apakah terjadi peningkatan hasil belajar siswa secara nyata di kelas atau tidak.

Atau kepala sekolah dianggap profesional kalau telah mengikuti pelatihan kepala sekolah dengan durasi waktu yang ditentukan dan mendapatkan sertifikat kepala sekolah di akhir pelatihan, tidak peduli apakah terjadi perubahan-perubahan positif yang nyata di sekolah melalui kualitas kepemimpinannya.

Kurikulum Merdeka antitesis GERM

Kurikulum Merdeka hadir sebagai antithesis GERM, meski dalam beberapa aspek pengaruh GERM masih terlihat seperti penekanan pada literasi dan numerasi terutama di tingkat dasar (SD) dan kebijakan akuntabilitas eksternal dalam bentuk asesmen terstandarisasi, yaitu Asesmen Nasional terutama Asesmen Kompetensi Minimum.

Dalam Kurikulum Merdeka, guru dan siswa dipandang sebagai orang-orang profesional tinggi (high professionals). Mendorong dan memfasilitasi guru mencoba gagasan dan pendekatan-pendekatan baru dalam pembelajaran merupakan salah satu karakteristik Kurikulum Merdeka.

Guru didorong untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, imaginasi dan kreativitas sebagai inti atau jantung pembelajaran.

Karena itulah dalam Kurikulum Merdeka, para guru diberi fleksibilitas untuk melakukan eksperimentasi pembelajaran, menerapkan pedagogi alternatif yang sesuai karakteristik peserta didik dan berani mengambil risiko untuk menguji coba model-model asesmen yang cocok dengan kebutuhan murid.

Hal ini nampak dalam otonomi para guru dalam menentukan Tujuan Pembelajaran, Alur Tujuan Pembelajaran dan Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP) sebagai pengganti Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang menstandarkan kriteria kelulusan siswa.

Selain itu, dalam Kurikulum Merdeka tujuan pengajaran dan pembelajaran adalah untuk menemukan kebahagiaan belajar (happiness of learning) dan membantu siswa bertumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang utuh sesuai minat, bakat dan profil belajar.

Gurulah yang paling memahami kebutuhan dan karakteristik siswanya dan tahu bagaimana pembelajaran di kelas dapat diperbaiki.

Penekanan pada literasi dan numerasi sebagai ketrampilan dasar (foundational skills) sejak di kelas awal jenjang SD menjadi ciri khas Kurikulum Merdeka.

Meski demikian, penguatan karakter melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila mendapat tempat istemewa dalam implementasi Kurikulum Merdeka dengan dialokasikannya 20 persen jam pelajaran untuk penguatan profil pelajar Pancasila melalui kegiatan kukurikuler.

Dalam Kurikulum Merdeka, kemerdekaan guru, fleksibilitas, kreativitas, inovasi mendapat tempat istimewa.

Dalam suasana yang kondusif seperti itu, para guru akan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan nyata murid yang beragam dan bukan pada pemenuhan standar yang telah ditetapkan secara eksternal.

Dengan itu, para stakeholders pendidikan terutama guru-guru tidak akan dihinggapi oleh apa yang disebut Stephen Ball sebagai "a kind of values schizophrenia" di mana komitmen dan otentisitas pendidik dikorbankan demi "impression and performance”.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/12/07/093049071/gerakan-reformasi-pendidikan-global-pisa-dan-kurikulum-merdeka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke