Orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih.
Awalnya, dia juga sempat terkejut dengan dinamika perkuliahan di ITB yang dirasa cukup berat.
Namun semenjak semester 5, dia mulai terbiasa dengan beban kuliah dan dapat mengatur aktivitasnya.
Dia juga akhirnya belajar untuk fokus membandingkan diri sendiri dengan dirinya di masa lalu alih-alih dengan orang lain.
"Aku orang yang cukup kompetitif. Pikiran yang aku tanamkan adalah, jika temanku bisa, aku juga harus bisa. Aku mau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menjadi peneliti. Saat menerima materi, aku mengenyahkan pikiran jika mata kuliah yang dipelajari susah. Aku ubah mindset-nya jika teori di mata kuliah itu bisa diimplementasikan saat aku membuat robot. Aku jadi lebih fokus mengasah skill, bukan semata mencari nilai," tegas Zizi.
Zizi tercatat juga sering menghasilkan prestasi. Contohnya, dia mengikuti Unit Robotika ITB, Society of Renewable Energy ITB, Unit Hoki ITB, dan Himpunan Mahasiswa Mesin ITB.
Setelah lulus dari ITB, dia ingin meneruskan pendidikan ke jenjang S2 sembari melamar pekerjaan.
Tak lupa, dia juga menunjukkan keseriusannya menjadi peneliti.
"Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan belajar dan riset. Sepertinya aku sudah ketagihan dan tidak bisa hidup tanpa dua hal itu," tutur Zizi.
Baca juga: Lulus dari Undip, Marshanda Gapai IPK 3,66
Dia pun berpesan agar para mahasiswa dapat semakin mengembangkan bakat serta kreativitasnya, tak hanya dalam prestasi akademik tapi juga dalam bidang lainnya.
"Jadilah mahasiswa yang kreatif dalam memilih keahlian dan jangan takut untuk membedakan diri dengan yang lain," pungkas Zizi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.