Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Merdeka Belajar Merdeka Publikasi

Kompas.com - 12/09/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENDIKBUDRISTEK Nadiem Makarim kembali melakukan gebrakan kebijakan di sektor pendidikan tinggi dalam konteks kebijakan Merdeka Belajar.

Pada episode ke-26 ini, kebijakan Merdeka Belajar mengambil tajuk “Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi”, yang diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Kebijakan ini juga merupakan kebijakan transformasi ke-10 pada sektor pendidikan tinggi.

Secara substantif, Permendikbudristek tersebut merupakan Omnibus Law dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi 4 (empat) Permen sebelumnya yang mengatur tentang sistem penjaminan mutu, standar nasional, dan penyelenggaraan akreditasi.

Yaitu Permenristekdikti No. 62 2016; Permendikbud No. 3/2020; Permendikbud No. 5/2020; Permendikbudristek No. 56/2022.

Permen-Permen tersebut dinyatakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan penjaminan mutu pendidikan tinggi, dan tentu saja dianggap tidak senapas dengan kebijakan Merdeka Belajar pada jenjang pendidikan tinggi.

Menurut Siaran Pers Kemdikbudristek (29/08/2023), ada dua hal fundamental dari kebijakan Permendikbudristek No. 53/2023 yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi.

Pertama, Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang lebih memerdekakan, di mana Standar Nasional tidak lagi bersifat preskriptif dan detail melainkan lebih berfungsi sebagai pengaturan framework secara umum, yang diantaranya terkait pengaturan Tugas Akhir Program (TAP) mahasiswa.

Kedua, sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.

Di antara kedua hal fundamental tersebut, yang lagi viral di berbagai ruang dan kanal informasi publik adalah kemerdekaan dalam pengaturan TAP mahasiswa.

Kewajiban karya ilmiah & publikasi

Kewajiban membuat karya ilmiah (skripsi, tesis, atau disertasi) sebagai syarat kelulusan program Sarjana/Magister/Doktor diatur di dalam sejumlah Peraturan-peraturan Menteri sebelumnya tentang sistem penjaminan mutu, standar nasional, dan penyelenggaraan akreditasi.

Kewajiban tersebut ditambah lagi dengan penyusunan makalah/artikel untuk publikasi ilmiah di jurnal nasional terakreditasi, jurnal internasional, atau jurnal internasional bereputasi.

Hal ini terdapat di dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan No. B/323/B.B1/SE/2019 tentang Publikasi Karya Ilmiah Program Sarjana, Program Magister, dan Program Doktor.

SE tersebut merupakan “penyesuaian ketentuan” UU No. 12/2012, Permenristekdikti No. 44/2015 yang telah diubah dengan Permenristekdikti No. 50/2018, dan Permenristekdikti No.9/2018 sebagai landasan hukumnya.

Tujuan penyesuaian adalah agar para lulusan PT turut berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatkan daya saing bangsa di tataran global melalui publikasi karya ilmiah berkualitas.

Dalam SE tersebut, dinyatakan bahwa lulusan program sarjana wajib menyusun skripsi yang diunggah ke Portal https://rama.kemdikbud.go.id/ atau publikasi di jurnal nasional.

Lulusan program Magister wajib menyusus tesis dan publikasi ilmiah di jurnal nasional terakreditasi (program Magister).

Lulusan program Doktor wajib Menyusun disertasi dan publikasi di jurnal internasional bereputasi (program Doktor). Kebijakan ini tidak lepas dari ambisi Kementerian untuk meningkatkan peringkat Indonesia di dunia, setidaknya di kawasan Asia dan Asia Tenggara.

Ambisi ini terbukti dengan meningkatnya jumlah publikasi nasional dan internasional secara signifikan.

Jumlah artikel yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal nasional dan terindeks di portal Garuda sebanyak 2.785.880 artikel, dan 8.885 artikel di antaranya terindeks SINTA 1—6.

Jumlah artikel yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional terindeks Scopus berjumlah 311.467 artikel selama periode 1996—2022.

Dari total jumlah publikasi ilmiah pada jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus selama periode 1996—2022 tersebut, Indonesia berada pada ranking ke-3 setelah Malaysia (454.998 artikel), dan Singapura (401.707 artikel); ranking ke-9 di Kawasan Asia; serta ranking ke-39 di dunia.

Di sisi lain, kebijakan wajib publikasi bagi mahasiswa (dan dosen) juga telah berdampak pada peningkatan jumlah publikasi artikel-artikel dari penulis Indonesia di jurnal-jurnal predator (predatory journals) versi Beall’s List; jurnal-jurnal tak terindeks lagi (discontinued journals) versi Scopus; dan/atau jurnal-jurnal yang dikeluarkan dari indeks (removed journal) versi Direct Open Access Journal (DOAJ) karena berbagai alasan.

Hal ini bisa terjadi karena peningkatan permintaan untuk publikasi yang sangat massif, dan keinginan untuk menempuh jalan pintas agar bisa menerbitkan artikelnya pada jurnal-jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan/atau jurnal-jurnal ilmiah internasional bereputasi.

Yang terjadi kemudian adalah banyak para mahasiswa (termasuk dosen) menjadi target permainan “mafia” jurnal-jurnal predator.

Kewajiban publikasi ilmiah juga telah menjadi beban bagi mahasiswa S2 maupun S3 agar bisa lulus tepat waktu.

Bahkan ada pula yang terpaksa “diberhentikan/droup-out” karena tidak mampu membuat publikasi ilmiah hingga melewati masa studi.

Musababnya, proses publikasi artikel ilmiah membutuhkan waktu yang cukup lama hingga artikel bisa dipublikasi di jurnal yang kredibel.

Merdeka bukan menghapus

Permendikbudristek No. 53/2022 sangat eksplisit mengatur bagaimana Program Studi mengukur/menilai dan memastikan ketercapaian kompetensi lulusannya melalui TAP yang diberikan.

Kompetensi lulusan program sarjana/sarjana terapan dapat diukur/diases melalui skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis, baik secara individu maupun berkelompok [pasal 18 ayat (9)].

Kompetensi lulusan program magister/magister terapan dapat diukur/diases melalui tesis, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis [pasal 19 ayat (2)].

Kompetensi lulusan program Doktor/Doktor Terapan dapat diukur/diases melalui disertasi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis [pasal 20 ayat (3)].

Dalam kaitan ini, tidak benar narasi dan persepsi yang berkembang di publik, bahwa Permendikbudristek “menghapus atau meniadakan” kewajiban karya ilmiah dan publikasi sebagai syarat kelulusan program.

Yang benar, Permendikbudristek “memerdekakan” atau membebaskan/membolehkan Program Studi untuk memilih instrumen asesmen yang valid dan reliabel untuk mengukur dan memastikan ketercapaian kompetensi lulusannya.

Artinya, skripsi/tesis/disertasi dan publikasi ilmiah (nasional atau internasional) bisa tetap “ada dan wajib” sebagai TAP. Bisa juga “tidak ada/tidak wajib” atau bersifat opsional/alternatif, karena memilih instrumen lain sebagai TAP.

Apapun pilihannya, keputusan tentang instrumen asesmen kompetensi lulusan yang akan digunakan diserahkan sepenuhnya kepada Prodi/Departemen/Fakultas masing-masing PT berdasarkan kompetensi utama lulusan yang disusun oleh PT dan/atau Asosiasi Program Studi sejenis (pasal 10), serta ditetapkan melalui Surat Keputusan Rektor.

Diversifikasi produk akademik

Kemerdekaan lulusan program Sarjana/Magister/Doktor untuk membuat TAP tidak hanya dalam bentuk karya ilmiah (skripsi/tesis/disertasi) dan publikasi jurnal memiliki dampak positif.

Paling tidak hal ini akan menciptakan diversifikasi produk akademik dan keilmuan mahasiswa. Bahkan, massifikasi diversifikasi produk akademik dan keilmuan di lingkungan PT akan terjadi jika kemerdekaan ini juga dikenakan kepada para dosen.

Beragam produk keilmuan seperti penciptaan karya-karya inovatif yang orisinal dan teruji seperti paten, atau karya-karya sastra/seni/desain monumental, dll. juga akan semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya.

Data menunjukkan produk-produk keilmuan seperti itu hingga saat ini masih lesu dan jauh ketinggalan dibandingkan karya-karya ilmiah berbasis kertas (paper-based scientific works).

Pengakuan dan penghargaan terhadapnya masih kurang atau setidaknya ambigu dibandingkan dengan karya-karya ilmiah, seperti dapat terlihat jelas pada pemenuhan angka kredit untuk kenaikan jabatan akademik dosen.

Hanya publikasi ilmiah pada jurnal internasional bereputasi yang terindeks pada basis data internasional bereputasi dan berfaktor dampak yang diakui untuk memenuhi persyaratan khusus.

Karya-karya inovatif yang orisinal dan teruji seperti paten, atau karya-karya sastra/seni/desain monumental, dll. tidak diakui sebagai pemenuhan syarat khusus.

Di sisi lain, karya-karya inovatif yang orisinal dan teruji seperti paten, atau karya-karya sastra/seni/desain monumental diakui dan dianggap setara dengan jurnal internasional atau jurnal internasional bereputasi untuk pemenuhan kewajiban khusus dosen tiga tahunan.

Implikasi kebijakan ini, produk akademik berupa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan segala jenis dan kategorinya yang dihasilkan oleh para dosen (termasuk TPA mereka saat studi Magister/Doktor) yang terdata pada portal SINTA hanya berjumlah 208.902 HKI.

Produk HKI yang dihasilkan oleh mahasiswa program sarjana mungkin saja ada dan telah dilakukan oleh sejumlah Prodi/PT. Jumlah HKI tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan produk akademik berupa skripsi.

Portal Rama mencatat sebanyak 2.059.917 dokumen skripsi yang dihasilkan oleh mahasiswa program Sarjana.

Portal Pangkalan Data DIKTI (PDDIKTI) juga menyajikan data pencapaian Indeks Kinerja Utama (IKU) ke-5 dari 75 PTN tahun 2020.

IKU-5 mengukur “hasil kerja dosen kegunaan oleh masyarakat atau mendapatkan rekognisi internasional”.

Kinerja diukur dari hasil bagi antara “jumlah keluaran penelitian yang mendapatkan rekognisi internasional atau digunakan oleh industri/masyarakat/pemerintah” dengan “total jumlah dosen tetap”.

Dari 75 PTN yang diukur diperoleh rerata total capaian IKU-5 sebesar 6,14 persen, menempati ranking ke-7 dari 8 (delapan) IKU yang diukur.

Dengan capaian sebesar 6,14 persen bermakna bahwa hasil kerja dosen yang digunakan oleh masyarakat atau mendapatkan rekognisi internasional sangat rendah.

Kontribusi komunitas PT (dosen, peneliti, dan mahasiswa) melalui penciptaan karya-karya inovatif yang orisinal dan teruji seperti paten, atau karya-karya sastra/seni/desain monumental, dll. untuk menghadirkan solusi ke tengah-tengah permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah, masyarakat, dan dunia kerja/industri masih sangat rendah.

Adalah tidak sepenuhnya benar, jika beragam produk keilmuan tersebut akan mengabaikan mahasiswa pada penguasaan teori dan praktik metodologi riset dan pengembangan. Kecuali dalam hal kemampuan menulis ilmiah mungkin ada benarnya.

Bukankah penciptaan karya-karya inovatif seperti paten, atau karya-karya sastra/seni/desain monumental, dll. juga merupakan produk akademik yang lahir dan merupakan hilirisasi dari hasil riset dan pengembangan yang pekat dengan proses dan metode ilmiah yang sah dan diakui oleh komunitas akademik masing-masing keilmuan, walaupun tidak dalam bentuk tertulis?

Apakah kebijakan merdeka publikasi ini akan berpengaruh pada penurunan perilaku non-etis dalam penciptaan karya ilmiah dan/atau publikasi?

Apakah kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada kuantitas artikel untuk jurnal ilmiah yang sudah diikhtiarkan oleh Kemdikbudristek hampir satu dekade lampau? Biarlah waktu yang membuktikan.

Yang pasti, kontribusi para sarjana, magister, doktor Indonesia masih sangat diharapkan bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Riset dan pengembangan serta publikasi/diseminasinya pada forum-forum dan/atau jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi dan bereputasi menjadi salah satu bagian penting dari khasanah keilmuan dunia tetap harus menjadi pertimbangan prodi/departemen/fakultas dan asosiasi prodi sejenis saat memutuskan TPA yang akan dikerjakan mahasiswa.

Jangan sampai terjadi, kebijakan merdeka publikasi ini menjadi kebijakan kontraproduktif di tengah-tengah obsesi pemerintah untuk turut berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan daya saing bangsa di tataran global melalui publikasi karya ilmiah yang berkualitas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com