Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Setiorini W.
dosen

Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara

Profesor "Scopus"

Kompas.com - 03/05/2024, 14:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini marak di berbagai berita mengenai dosen yang melakukan academic misconduct dalam penelitiannya. Inilah akibat yang harus dipikul dalam budaya instan.

Sudah lama aturan yang mendewa-dewakan jurnal tertentu menimbulkan kegelisahan. Sebut saja keharusan untuk memiliki publikasi di jurnal terindeks Scopus untuk naik jenjang jabatan akademik Profesor dan di jurnal terakreditasi SINTA 2 (minimal) untuk naik ke jenjang jabatan akademik Lektor Kepala.

Atau, misalnya persyaratan untuk mengikuti ujian tertutup program doktoral yang mengharuskan mahasiswa S3 memiliki publikasi di jurnal terindeks Scopus.

Niatnya tentu baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas penelitian di Indonesia–baik dari sisi peneliti maupun penyelenggara jurnal.

Namun memberi batasan di ujung proses seperti itu dan mengabaikan proses yang berjalan menuju ke sana adalah budaya instan yang menyesatkan.

Kita tidak mungkin mengharapkan hasil yang baik tanpa proses yang baik pula. Hasil yang baik dapat dicapai dengan cara-cara yang tidak baik, karena caranya memang tidak diperhatikan alias dengan sengaja diabaikan.

Itu sama saja dengan mengharapkan seorang anak bisa Matematika tanpa mengajari konsep penambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian.

Persyaratan Jurnal

Orang Indonesia terkenal “kreatif” mencari cara untuk mengakali masalah. Jadi, tantangan publikasi di jurnal tertentu–bagi sebagian orang–tidak masalah karena ia menemukan celah untuk mengakalinya.

Bayangkan saja, untuk menembus satu jurnal terindeks Scopus, seorang peneliti mungkin membutuhkan waktu sekitar setahun. Itu pun sudah tergolong cepat.

Prosesnya adalah peneliti mengirim artikel kepada jurnal tersebut. Ini pun bukan perkara mudah, karena setiap jurnal memiliki format artikel sendiri-sendiri.

Artinya, jika tidak diterima oleh jurnal A dan ingin dikirimkan ke jurnal B, maka peneliti harus merombak tulisannya sesuai dengan format jurnal B–yang berbeda dengan jurnal A.

Ketidakcocokan dengan format jurnal yang dituju dengan cepat menjadi salah satu alasan tidak diterimanya artikel–betapapun menariknya.

Selain itu, untuk mengirim diperlukan akun pada jurnal tersebut, sehingga seorang dosen bisa memiliki beberapa akun untuk jurnal-jurnal yang pernah disinggahi, hingga ia sendiri tidak ingat jurnal mana dengan akun apa.

Setelah format sesuai, pihak jurnal akan menilai kelayakan artikel tersebut. Jika tidak cocok–misalnya bukan tema yang sesuai untuk jurnal tersebut–maka artikel akan dikembalikan.

Jika masih bisa diterima dengan revisi, maka peneliti akan melalui proses revisi. Sampai di sini saja, hal ini berarti peneliti harus mengenal betul jurnal yang dituju hingga format dan ruang lingkup tulisannya sesuai dengan jurnal yang dimaksud.

Dalam proses revisi, biasanya terjadi beberapa kali komunikasi bolak-balik antara peneliti dengan reviewer jurnal. Hal ini untuk memastikan bahwa peneliti telah memperbaiki artikelnya sesuai dengan permintaan reviewer.

Setelah reviewer merasa puas dengan hasil koreksinya, barulah artikel tersebut dinyatakan diterima.

Masalah berikutnya adalah antre terbit. Meskipun jurnal terindeks atau terakreditasi biasanya memang sudah memiliki terbitan secara berkala, tetapi pengirimnya tidak kalah banyaknya.

Itulah dampak dari akreditasi atau indeks bagus dan aturan yang mengharuskan dosen mengirim ke jurnal tertentu.

Bukan tidak mungkin pengelola jurnal yang menjadi tujuan ini kemudian menjadi “jual mahal”–atau dalam kasus tertentu “pasang harga”–karena tahu bahwa peminatnya membeludak.

Dalam kasus jual mahal, dosen dan pengelola jurnal adu kuat mental; sementara dalam kasus pasang harga, keduanya adu kuat Rupiah.

Apakah setelah terbit permasalahan selesai? Ternyata tidak. Jika jurnal tersebut tidak dapat mempertahankan indeks ataupun akreditasnya, maka artikel dosen yang sudah terbit di jurnal tersebut sangat mungkin ikut kena masalah.

Misalnya, tidak diakui dalam mengurus kenaikan JJA. Atau, jika diskontinyu dari Scopus, bisa-bisa penulisnya tidak mendapatkan ID Scopus. Padahal, ID itu banyak menjadi persyaratan dalam berbagai hibah.

Mematok seorang dosen harus memiliki publikasi di jurnal tertentu tanpa mempertimbangkan prosesnya adalah hal yang fatal. Dunia perjurnalan tidak seterang apa yang diduga selama ini. Ada berbagai masalah dan trik untuk dapat menembusnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com