Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Setiorini W.
Dosen

Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara

Profesor "Scopus"

Kompas.com - 03/05/2024, 14:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Untuk perguruan tinggi sendiri, bekerja sama dengan instansi lain untuk suatu kegiatan penelitian membutuhkan Memorandum of Understanding (MoU atau Nota Kesepahaman) di tingkat perguruan tinggi, dilanjutkan dengan Memorandum of Agreement (MoA, atau Perjanjian Kerja Sama) di tingkat fakultas, dan Implementation Arrangement (IA atau Rencana Implementasi Kerja Sama) di tingkat unit yang terlibat.

Dengan perjanjian yang berlapis-lapis ini, tentu sudah terbayang keribetan yang akan terjadi. Maka, beragam tindak kecurangan sangat mungkin terjadi di sini.

Belum lagi persyaratan lain hibah yang cukup sulit, di antaranya adalah memiliki manfaat bagi masyarakat.

Jika persyaratan ini mudah, mengapa sampai sekarang pembatik masih mengotori tangannya dengan mencelup kain untuk melorotkan malam? Bukankah ada jurusan teknik mesin yang bisa membuat alat untuk menggantikan fungsi tersebut?

Pada praktiknya, mencari tempat penelitian bukan hal yang mudah. Demikian pula pada saat mahasiswa mengerjakan skripsi, perusahaan sering enggan memberikan izin melakukan penelitian di sana.

Kebiasaan meneliti

Maka, dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, sudah selayaknya kita merenungi kembali: sudahkah kita membiasakan diri untuk meneliti?

Sudahkah kita mengajarkan anak-anak kita berpikir kritis untuk menemukan research gap?

Jangan-jangan kita masih menjejali mereka dengan ini-itu gaya orangtua yang tidak boleh dibantah. Jangan-jangan kita pun masih abai dengan fenomena di sekitar kita yang sebenarnya kita dapat bantu dengan berbagai kegiatan penelitian dan/atau pengabdian masyarakat.

Jika penelitian baru dilakukan pada saat skripsi, atau berpikir kritis baru diajarkan di sekolah menengah, atau belajar statistik hanya sekadar angka–bukannya penerapan, jangan heran bahwa mahasiswa datang ke pembimbingnya dengan membawa judul penelitian.

Padahal, yang seharusnya diajukan adalah fenomena yang layak diteliti, perbedaan antara “yang seharusnya” dengan “yang senyatanya”, gap antara teori dengan praktik, dan seterusnya.

Bahkan, dosen pengajar mata kuliah metodologi penelitian pun mengajarkan untuk menyiapkan judul. Bukan fenomena yang pantas diteliti.

Karena mencari fenomena tidak mudah, membutuhkan kepekaan terhadap kondisi sekitar, pemahaman mengenai teori yang terkait, juga kebutuhan untuk melakukan perbaikan.

Dosen pun terjebak dalam kemudahan mencari penelitian yang sudah ada, kemudian mengubah satu-dua variabel agar terdapat “kebaruan” tanpa memperhatikan fenomena yang bisa diteliti.

Maka, tak heran penelitian hanya berhenti di atas kertas, mandeg diaplikasikan di tingkat lapangan. Perusahaan, organisasi, dan masyarakat tidak merasakan manfaatnya.

Jadi, ketika ada orang yang ingin melakukan penelitian di tempatnya, pemilik pun enggan memberikan izin, karena merasa tidak mendapatkan manfaat apapun–sementara perusahaannya sudah diobok-obok untuk penelitian tersebut.

Jadi, perguruan tinggi yang punya sejumlah profesor dan doktor tetap perlu mawas diri, apakah mereka benar-benar memiliki keahlian tersebut?

Publikasi yang berderet-deret tanpa disertai kompetensi yang mendukung, perlu diwaspadai. Perguruan tinggi perlu memberikan dukungan yang dibutuhkan bagi dosennya untuk mengembangkan penelitian: dana, bimbingan, penerjemahan, dan lain-lain.

Tanyakan kepada dosen, apa yang mereka butuhkan, lalu sediakan. Dosen dan perguruan tinggi harus sama-sama berproses menjadi lebih baik, bukan hanya melihat ujung yang diharapkan.

Jangan hanya melihat hasil akhir tanpa proses yang jelas, jika tidak mau memiliki profesor Scopus–guru besar yang memiliki banyak artikel terindeks Scopus yang diperoleh dengan cara tidak bertanggung jawab.

Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak-pihak tertentu. Namun, penting disadari bahwa urusan jurnal kini sudah menjadi lahan bisnis yang punya lika-liku tertentu. Dan, seperti juga bisnis lain, mungkin saja sudah terbentuk “mafia jurnal”.

Pengambil kebijakan juga harus mempertimbangkan hal ini dalam membuat keputusan menyangkut dosen dan dunia pendidikan tinggi.

Selamat hari pendidikan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com