Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Program Merdeka Belajar: Hubungan Kebebasan dan Ketimpangan

Kompas.com - 11/08/2023, 14:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pemerintah memberi kebebasan dan fleksibilitas operasional pada tiap sekolahan. Lokalitas menjadi andalan dalam pemberdayaan.

Sekolah di masing-masing daerah hanya perlu melihat modal sekitar lingkungannya. Apa yang bisa dioptimalkan dan apa yang bisa diberdayakan, diharapkan bisa diakselerasikan bersama dengan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Sekilas tampak bagus.

Namun, agaknya pemerintah lupa kalau fungsi kelembagaannya adalah menyediakan, mengontrol, dan mengelola modal atribut implementasi.

Seperti ilustrasi akses aplikasi di atas, bagaimanapun masing-masing subjek akan berproses dan beraktualisasi diri berdasarkan modal kapital fitur yang dimilikinya.

Jadi sebenarnya kebebasan tidak perlu diucapkan, apalagi dijual di awal. Kebebasan itu syarat mutlak yang tidak perlu diomongkan. Ia sudah sewajarnya harus ada. Bagaimana mengelolah kebebasan adalah paling utama yang harus dibicarakan.

Dari semua itu, dapat disimpulkan ketimpangan terjadi bukan hanya karena faktor kelas sosial ekonomi orangtua siswa seperti kata Anita Lie, Guru Besar Universitas Widya Mandala.

Faktor kebebasan berkedok pemberdayaan perbedaan dan keanekaragaman juga turut andil pembentukannya. Bahkan justru kebebasan bisa jadi cara atau jalan utama implementasi ketimpangan itu sendiri.

Membahas ketimpangan tidak perlu terlalu jauh membandingkan sekolah kota dengan pelosok (daerah 3T). Di dalam kota metropolitan seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung dengan pendapatan daerah tinggi, sekolah sekawasannya terkadang sudah begitu jomplang perbedaannya.

Kalau sekolah sekawasan yang keadaannya sudah jomplang tersebut diberi aturan kebebasan dalam pemberdayaan perbedaan, tentu hasilnya akan sama saja, bahkan malah dapat memperparah.

Sekolah A dipantau sudah dapat membuat robot, menang olimpiade. Sementara sekolah B proyektor tiap kelas saja tidak tersedia, siswa datang ke sekolah pakaian rapi saja sudah untung.

Kedua sekolah itu memang dapat hak kebebasaanya, tetapi mereka tidak mendapat hak pemerataan dan keadilan.

Harapan peningkatan dan pemerataan mutu tetaplah ilusi selama modal atribut pendukung tidak pernah dikontrol. Dari sanalah elitisme, liberalisme, hingga neoliberalisme tumbuh dan berkembang.

Lewat Kurikulum Merdeka negara secara tidak lansung turut menyumbang pelebaran ketimpangan.

Padahal, dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam Pasal 5 ayat 1 jelas menyebutkan bahwa, 'Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.'

Bila negara ini belum sepenuhnya bisa mewujudkan isi pasal tersebut, menyelenggarakan pendidikan berkonsep kebebasan dan pemberdayaan perbedaan (Merdeka Belajar) agaknya perlu ditinjau ulang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com