BEBERAPA waktu lalu, Opini Kompas menampilkan tulisan yang mempertanyakan masihkah menarik menjadi dosen di Indonesia?
Tentunya ini menggelitik, mengingat beberapa waktu sebelumnya, kisah polemik amanah dosen terus menerus menghiasi media masa.
Dosen memiliki sejumlah perbedaan krusial dengan guru. Dosen mendidik manusia yang sudah ’dewasa’, baik secara Undang-Undang, kondisi biologis maupun status psikologisnya (akil baligh).
Dosen bertugas mendidik generasi yang bertransformasi dari remaja akhir menuju dewasa awal, dengan segala dinamikanya.
Sang dosen, menerima ’apa adanya’ ragam sikap dan kepribadian mahasiswa, yang tumbuh dan berkembang di kehidupan mereka sebelumnya, di keluarga dan ekosistem sosial masing-masing.
Walaupun secara kecerdasan umum, mereka sudah disaring melalui beragam tes masuk perguruan tinggi, namun demikian perbedaan dari dimensi psikologis, sosial dan spiritual mereka, merentang sangat luas.
Sehingga tantangan untuk mendidik (tarbiyah), dan bukan sekadar berbagi pengetahuan melalui mengajar (ta’lim) menjadi semakin tinggi.
Masa depan bangsa membutuhkan bukan hanya orang-orang yang cerdas secara ilmu, melaikan juga beradab secara akhlak.
Maka, ketika perguruan tinggi adalah gerbang ataupun jalur pendidikan tertinggi, maka, seketika (seakan-akan) seluruh amanah pendidikan, dibebankan pada perguruan tinggi, khususnya dosen sebagai tenaga pendidik.
Seakan-akan perguruan tinggi diharapkan mampu menyulap lulusan SMU menjadi generasi terbaik penerus masa depan bangsa dan peradaban manusia. Benarkah seharusnya demikian?
Perjalanan anak menjadi mahasiswa tentulah perjalanan yang panjang. Namun demikian, pasti terdapat rentang variasi yang sangat besar antarsatu anak dengan anak lainnya, terkait perbedaan pola asuh dan ekologi sosial keluarga.
Sehingga pembangun generasi sebenarnya adalah orangtua, yang detik demi detik membersamai tumbuh kembang anak, yang menit demi menit mereka memantau pertumbuhan kapasitas berpikir dan bernalarnya.
Jelas, orangtua memiliki peran penting dalam mendidik generasi. Namun hari ini, terlihat bahwa justru orangtua yang menggantungkan harapannya pada sekolah dan perguruan tinggi, untuk mengubah anaknya menjadi orang pintar secara akal dan baik secara akhlak, kompeten kapabiltasnya, mampu bersaing di dunia industri, cerdas kepemimipinannya dan lain-lain.
Tidak jarang, orangtua merasa sudah membayar ’mahal’ untuk mendapatkan itu semua, sehingga berharap sangat tinggi kepada lembaga pendidikan.
Di tambah lagi, sejumlah orangtua hari ini, merasa tugas utamanya adalah mencari uang untuk biaya pendidikan anak. Maka kepintaran dan kesholehan anak, sudah ’ditransaksikan’ dengan uang melalui institusi pendidikan.