JIKA ingin mengingat historisnya, tepatnya ketika UU Guru dan Dosen dihadirkan, terdapat pertumbuhan peminat yang signifikan pada program studi yang nantinya akan memberi gelar Sarjana Pendidikan kepada lulusannya.
Bahkan, peminat gelar ini bukan hanya dari anak-anak yang baru melepaskan seragam putih abu-abunya semata.
Setidaknya ada dua sumber peminat yang juga ikut tumbuh pada waktu itu dan tahun-tahun setelahnya.
Pertama adalah para pendidik yang kebetulan selama ini telah ‘nyaman’ mengajar dengan statusnya yang belum meraih gelar sarjana kependidikan.
Kedua adalah para lulusan sarjana non kependidikan yang akhirnya kepincut untuk turut serta memajukan dunia pendidikan dengan jalan menjadi guru.
Mereka dengan tulus harus mengorbankan waktu dan biaya untuk kemudian kembali ke bangku perkuliahan.
Selain merupakan panggilan nurani untuk mengabdikan diri pada dunia sekolah, lahirnya undang-undang itu juga menjadi kado terindah bagi guru-guru di seluruh Indonesia.
Berkah dari peraturan tersebut tidak hanya melahirkan semangat untuk mewujudkan guru yang semakin kompeten, tetapi juga pada pendapatannya yang semakin kompetitif dibandingkan profesi lain.
Walau pada akhirnya nuansa kesejahteraan guru ini belum terjamah pada seluruh guru yang ada. Kasus upah murah dan tak layak masih menjadi persoalan besar yang belum tertuntaskan.
Termasuk kisah-kisah guru yang mengabdi dengan gaji di luar nalar kemanusiaan.
Akan tetapi, di tengah kondisi yang demikian, semangat penantian yang penuh optimistis itu selalu hadir. Penantian-penantian itu terus dilakukan. Dedikasi pengabdian selalu utuh diberikan kepada para peserta didik.
Namun, ketika kehadiran payung hukum kesejahteran guru yang dua tahun lagi akan genap berumur 20 tahun tersebut akan ‘melebur’, penantian-penantian panjang untuk menciptakan kesejahteraan pada semua guru itu tiba-tiba seperti menemukan jawabannya. Jangan terlalu berharap (lagi).
Jangan berharap lagi?
Meski legalitas yang mengatur kesejahteraan guru itu telah hadir cukup lama. Persoalan kesejahteraan guru sepertinya belum bisa dituntaskan oleh negara.
Alih-alih melakukan peningkatan kesejahteraan, hadirnya RUU Sisdiknas — yang akhirnya tidak dimasukkan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 — sempat mengundang banyak tanya atas hilangnya pasal terkait Tunjangan Profesi Guru (TPG).