Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hery Wibowo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Asa Mulia Dosen

Kompas.com - 27/05/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu lalu, Opini Kompas menampilkan tulisan yang mempertanyakan masihkah menarik menjadi dosen di Indonesia?

Tentunya ini menggelitik, mengingat beberapa waktu sebelumnya, kisah polemik amanah dosen terus menerus menghiasi media masa.

Dosen memiliki sejumlah perbedaan krusial dengan guru. Dosen mendidik manusia yang sudah ’dewasa’, baik secara Undang-Undang, kondisi biologis maupun status psikologisnya (akil baligh).

Dosen bertugas mendidik generasi yang bertransformasi dari remaja akhir menuju dewasa awal, dengan segala dinamikanya.

Sang dosen, menerima ’apa adanya’ ragam sikap dan kepribadian mahasiswa, yang tumbuh dan berkembang di kehidupan mereka sebelumnya, di keluarga dan ekosistem sosial masing-masing.

Walaupun secara kecerdasan umum, mereka sudah disaring melalui beragam tes masuk perguruan tinggi, namun demikian perbedaan dari dimensi psikologis, sosial dan spiritual mereka, merentang sangat luas.

Sehingga tantangan untuk mendidik (tarbiyah), dan bukan sekadar berbagi pengetahuan melalui mengajar (ta’lim) menjadi semakin tinggi.

Masa depan bangsa membutuhkan bukan hanya orang-orang yang cerdas secara ilmu, melaikan juga beradab secara akhlak.

Maka, ketika perguruan tinggi adalah gerbang ataupun jalur pendidikan tertinggi, maka, seketika (seakan-akan) seluruh amanah pendidikan, dibebankan pada perguruan tinggi, khususnya dosen sebagai tenaga pendidik.

Seakan-akan perguruan tinggi diharapkan mampu menyulap lulusan SMU menjadi generasi terbaik penerus masa depan bangsa dan peradaban manusia. Benarkah seharusnya demikian?

Orangtua

Perjalanan anak menjadi mahasiswa tentulah perjalanan yang panjang. Namun demikian, pasti terdapat rentang variasi yang sangat besar antarsatu anak dengan anak lainnya, terkait perbedaan pola asuh dan ekologi sosial keluarga.

Sehingga pembangun generasi sebenarnya adalah orangtua, yang detik demi detik membersamai tumbuh kembang anak, yang menit demi menit mereka memantau pertumbuhan kapasitas berpikir dan bernalarnya.

Jelas, orangtua memiliki peran penting dalam mendidik generasi. Namun hari ini, terlihat bahwa justru orangtua yang menggantungkan harapannya pada sekolah dan perguruan tinggi, untuk mengubah anaknya menjadi orang pintar secara akal dan baik secara akhlak, kompeten kapabiltasnya, mampu bersaing di dunia industri, cerdas kepemimipinannya dan lain-lain.

Tidak jarang, orangtua merasa sudah membayar ’mahal’ untuk mendapatkan itu semua, sehingga berharap sangat tinggi kepada lembaga pendidikan.

Di tambah lagi, sejumlah orangtua hari ini, merasa tugas utamanya adalah mencari uang untuk biaya pendidikan anak. Maka kepintaran dan kesholehan anak, sudah ’ditransaksikan’ dengan uang melalui institusi pendidikan.

Undang-Undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa dosen adalah pendidikan profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Jelas ini bukan amanah yang mudah. Sungguh sangat tidak mudah bagi dosen hari, dengan segala amanah jabatan dan administratifnya, untuk mampu menjadi soko guru pendidikan.

Di tengah banyak kasus korupsi dan manipulasi hari ini, pandangan masyarakat umum seakan kembali kepada kampus sebagai kawah candradimuka yang seyogianya mampu menghasilkan insan kamil profesional dan beradab baik.

Hal yang paling bijaksana adalah bahwa segala potensi kriminalitas dan kejahatan di kemudian hari, perlu dipikirkan langkah preventif dan pencegahannya sejak dini.

Maka dunia kampus adalah arena pembentukan kepribadian, penguatan nilai dan moral, selain kompentensi sesuai tuntutan industri.

Ramalan kebutuhan SDM masa depan

Studi yang dilakukan Trilling dan Fadel (2009) dalam (Daryanto & Karim, 2017) menunjukkan bahwa tamatan sekolah menengah, diploma dan perguruan tinggi masih kurang kompeten dalam hal:

a. Komunikasi lisan maupun tertulis
b. Berpikir kritis dan mengatasi masalah
c. Etika bekerja dan profesionalisme
d. Bekerja secara tim dan berkolaborasi
e. Bekerja di dalam kelompok yang berbeda
f. Menggunakan teknologi
g. Manajemen Proyek dan Kepemimpinan

Selanjutnya, Profesor Elen Galinsky (Kasali, 2019) menjelaskan bahwa untuk sukses di masa depan, maka dibutuhkan serangkaian hal berikut; fokus dan kendali diri, kemampuan menempatkan perspektif, komunikasi, membuat jaringan/hubungan, berpikir kritis, siap menghadapi tantangan, mampu mengarahkan dirinya sendiri serta pembelajaran yang melekat.

Pada daftar tersebut tidak tercantum hal-hal yang berbau spiritual, seperti keyakinan anak terhadap agamanya, bergantungnya anak pada Sang Penciptanya dan lain-lain.

Sehingga timbul kekawatiran, para lulusan perguruan tinggi akan tumbuh menjadi sekrup dan mesin di dalam derap revolusi industri, alih-alih tumbuh menjadi insan yang memikirkan kesejahteraan sosial lingkungan sekitarnya.

Muncul kecemasan bahwa mereka, karena kecerdasannya, justru menjadi monster pengeruk dana negara/perusahaan/sumber daya alam.

Alih-alih punya dorongan untuk bermanfaat bagi sesama dan bangsa, malah justru berlomba menambah kekayaan.

Harapan kepada dosen

Terbersit harapan, bahwa dosen, baik pengajar sarjana maupun pascasarjana, mampu membangun generasi yang tidak hanya bervisi dunia (mengejar status, jabatan, kekayaan, posisi dll), namun juga punya misi akhirat.

Sekilas tugas ini tampak mustahil. Namun demikian, sebenarnya tidak mustahil dilakukan.

Kabar baiknya adalah sejatinya setiap manusia terlahir dengan membawa fitrah kebaikan. Manusia mulai hidup di dunia dengan benih-benih kebaikan yang perlu dipupuk dan dirawat.

Konsep Hidup Berbasis Fitrah dari Hary Santosa (Santosa, 2022), memberikan inspirasi yang sangat menarik, terkait bagaimana membangun keseimbangan hidup dengan misi akhirat, tanpa melupakan visi dunia.

Misi hidup tanpa orientasi langit kepada Allah Subhanahu wa ta’ala hanyalah obsesi dunia (hubbuddunya), walau nampak bermanfaat bagi banyak orang, nampak membahagikan, nampak memiliki kontribusi bagi dunia, namun bagi pemilik misi yang demikian itu hanyalah fatamorgana (Santosa, 2022).

Namun kebanyakan, visi tersebut hanya terbatas pada asa duniawi. Harry Santosa (2022) mengingatkan bahwa cita-cita (dream/vision) adalah sesuatu yang terlihat (materi), maka tanpa adanya misi hidup (life mission) atau Tugas Langit Spesifik, visi tersebut hanyalah penglihatan semu menipu. Obsesi dunia tanpa makna.

Apabila tercapai hanya meninggalkan kehampaan dan dahaga baru, apabila gagal hanya membuat semakin kecewa dan buta.

Sehingga, penting kiranya, individu membangun misi kehidupannya, selaras dengan penghayatannya sebagai bagian dari umat beragama, dalam kapasitasnya sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Maka, daya dorong utama individu sejatinya adalah misi hidupnya (the Mission of Life), yaitu tugas untuk menyelesaikan maksud penciptaan, berupa sesuatu yang berbeda (unik dan spesifik) untuk dijalani, menuju perubahaan yang ditargetkan.

Melalui jam-jam belajar di kelas maupun pertemuan maya secara daring/hybrid, dosen diharapkan mampu sekaligus mentransfer nilai-nilai dasar kehidupan dan norma beragama, selain menyampaikan materi utama perkuliahan.

Di tengah pikirannya untuk tetap harus menghidupi keluarganya, dosen memiliki amanah untuk tegar berdiri sebagai suri tauladan insan kamil (manusia paripurna seutuhnya). Sebab, seperti jargon umum, bahwa mahasiswa belajar dari apa yang dilihatnya.

Maka, alangkah indahnya ketika dosen ditengah segala amanahnya, juga menjadi sosok yang pantas digugu dan ditiru. Dosen berkewajiban menjaga marwah pendidikan tinggi, sebagai gerbang ’terakhir’ pencetak generasi yang akan melanjutkan peradaban.

Dosen mengajar dengan semangat menghasilkan generasi yang lebih baik, bukan sekadar membuat dapurnya mengepul.

Maka dosen, seyogianya adalah pihak utama yang perlu memiliki misi hidup berorientasi akhirat, dan tugas khusus untuk menyebarluaskan marwah agung pendidikan.

Pesan non verbal tidak akan berbohong. Binar mata semangat dan gelegar suara dosen ketika mengajar adalah suntikan dosis tinggi untuk transfer bukan hanya ilmu, namun juga norma.

Norma secara fundamental sering didefinisikan sebagai aturan atau harapan yang ditegakkan secara sosial, yang sekaligus bersifat preskriptif (mendorong perilaku positif dan mencegah perilaku negatif)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com