Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Mengapa Harus Malu Jadi Profesor di Indonesia?

Kompas.com - 09/08/2022, 06:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu lalu, Prof. Sutawi, Profesor Unmuh Malang, kolumnis Kompas.com menulis artikel berjudul “Malu Aku Jadi Profesor di Indonesia” (Kompas.com, 06/08/2022).

Artikel tersebut sempat menaikkan adrenalin sejawat Profesor dan perguruan tinggi. Tetapi, kita sangat memahami pesan moral yang disampaikan.

Tujuannya tentu bukan untuk “merendahkan” apalagi “melecehkan” para Profesor di Indonesia. Namun lebih pada ikhtiar untuk melecut kalangan dosen, khususnya Profesor.

Bagi perguruan tinggi ini dimaksudkan agar lebih terpacu untuk menghasilkan Profesor-profesor yang berkualitas dan pilih tanding. Karena sebenarnya banyak pula Profesor di Indonesia yang berkualitas dan diakui di dunia akademik internasional.

Pesan terpenting yang hendak disampaikan adalah “Profesor BUKAN akhir dari pendakian panjang dan melelahkan bagi seorang dosen. Profesor adalah BABAK-an AWAL dari episode panjang yang tak kalah sulit dan melelahkan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban masyarakat dan umat manusia.”

Secara substantif, sebagian artikel tersebut mengulang kembali “gugatan” (renungan tajam) Prof Dr Mikrajudin Abdullah saat Indonesia diamanahi sebagai presidensi KTT G-20.

Dengan menggunakan indikator reputasi perguruan tinggi, jumlah pemenang hadiah Nobel, dan jumlah ilmuwan internasional, Prof. Mikra menyimpulkan “reputasi akademik Indonesia berada di posisi terakhir di antara anggota G20 lainnya.” (facebook, 12/07/2022; semarak.co, 18/07/2022).

Seperti efek domino, tulisan Prof. Mikra ini mendapatkan beragam tanggapan, pro dan kontra. Di antaranya dari Dahlan Iskan berjudul “Mikra Gugat” (Disway, 14/07/2022), dan “Bukan Gugat” (Disway, 15/07/2022).

Analisis Prof. Mikra menyimpulkan tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, dana riset kecil, yaitu 0,3 persen terhadap GDP.

Kedua, akademisi Indonesia terlalu santai, ditandai penurunan produktivitas pascaseorang dosen meraih Profesor.

Ketiga, tidak ada sistem insentif atau reward khusus terhadap dosen yang berprestasi, dan mengharumkan institusi, agar terus berprestasi.

Selain ketiga faktor tersebut, perlu ditambahkan faktor keempat, yaitu tata kelola perguruan tinggi (university governance) yang ‘umumnya’ masih menggunakan “model tradisional” dalam konsep “Equalizer Governance” (De Boer & Enders, 2008).

Sebuah model “governance top-down”, di mana tata kelola perguruan tinggi masih didominasi oleh otoritas negara dan oligarki akademik, dibandingkan oleh internal perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lainnya.

Hal ini menyebabkan peran internal perguruan tinggi berada pada posisi marjinal, di mana otonomi akademik dan non-akademik masih belum penuh, sementara regulasi pemerintah kuat.

Model pengelolaan “tradisional’ ini ditemukan terutama pada PTN-Satker dan PTN Satker Seni yang merupakan PT mayoritas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com