Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Harus Malu Jadi Profesor di Indonesia?

Artikel tersebut sempat menaikkan adrenalin sejawat Profesor dan perguruan tinggi. Tetapi, kita sangat memahami pesan moral yang disampaikan.

Tujuannya tentu bukan untuk “merendahkan” apalagi “melecehkan” para Profesor di Indonesia. Namun lebih pada ikhtiar untuk melecut kalangan dosen, khususnya Profesor.

Bagi perguruan tinggi ini dimaksudkan agar lebih terpacu untuk menghasilkan Profesor-profesor yang berkualitas dan pilih tanding. Karena sebenarnya banyak pula Profesor di Indonesia yang berkualitas dan diakui di dunia akademik internasional.

Pesan terpenting yang hendak disampaikan adalah “Profesor BUKAN akhir dari pendakian panjang dan melelahkan bagi seorang dosen. Profesor adalah BABAK-an AWAL dari episode panjang yang tak kalah sulit dan melelahkan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban masyarakat dan umat manusia.”

Secara substantif, sebagian artikel tersebut mengulang kembali “gugatan” (renungan tajam) Prof Dr Mikrajudin Abdullah saat Indonesia diamanahi sebagai presidensi KTT G-20.

Dengan menggunakan indikator reputasi perguruan tinggi, jumlah pemenang hadiah Nobel, dan jumlah ilmuwan internasional, Prof. Mikra menyimpulkan “reputasi akademik Indonesia berada di posisi terakhir di antara anggota G20 lainnya.” (facebook, 12/07/2022; semarak.co, 18/07/2022).

Seperti efek domino, tulisan Prof. Mikra ini mendapatkan beragam tanggapan, pro dan kontra. Di antaranya dari Dahlan Iskan berjudul “Mikra Gugat” (Disway, 14/07/2022), dan “Bukan Gugat” (Disway, 15/07/2022).

Analisis Prof. Mikra menyimpulkan tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, dana riset kecil, yaitu 0,3 persen terhadap GDP.

Kedua, akademisi Indonesia terlalu santai, ditandai penurunan produktivitas pascaseorang dosen meraih Profesor.

Ketiga, tidak ada sistem insentif atau reward khusus terhadap dosen yang berprestasi, dan mengharumkan institusi, agar terus berprestasi.

Selain ketiga faktor tersebut, perlu ditambahkan faktor keempat, yaitu tata kelola perguruan tinggi (university governance) yang ‘umumnya’ masih menggunakan “model tradisional” dalam konsep “Equalizer Governance” (De Boer & Enders, 2008).

Sebuah model “governance top-down”, di mana tata kelola perguruan tinggi masih didominasi oleh otoritas negara dan oligarki akademik, dibandingkan oleh internal perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lainnya.

Hal ini menyebabkan peran internal perguruan tinggi berada pada posisi marjinal, di mana otonomi akademik dan non-akademik masih belum penuh, sementara regulasi pemerintah kuat.

Model pengelolaan “tradisional’ ini ditemukan terutama pada PTN-Satker dan PTN Satker Seni yang merupakan PT mayoritas.

Sebagian juga bisa ditemukan pada 84(1.87 persen) PTN PK-BLU yang memiliki sedikit fleksibilitas dalam tata kelola PT.

Sedangkan PTN BH dengan otonomi akademik dan non-akademik “penuh” yang diharapkan mampu menciptakan ekosistem untuk menunjang perguruan tinggi bisa berdaya saing dan menjadi kelas dunia, baru berjumlah 16 (0.35 persen) PT dari total 4.500 PT di Indonesia.

Kebijakan Kemristekdikti yang mensyaratkan dosen naik ke jabatan Lektor Kepala dan Profesor memiliki jurnal terindeks basis data internasional (Scopus atau WoS) dengan nilai indeks dan faktor dampak tertentu, sebenarnya merupakan kebijakan yang kondusif.

Sebelum akhirnya Dirjendikti melakukan penyesuaian pascapertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor: 20/PUU-XIX/2021 (29/03/22).

Penyesuaian ketentuan PAK kenaikan jabatan fungsional dosen ke Lektor Kepala dan Profesor yang memberikan “relaksasi” dalam hal pemenuhan persyaratan utama/khusus ini, mengakhiri dominasi rezim Scopus sebagai parameter utama publikasi jurnal internasional bereputasi (Farisi, 2022a; 2022b).

Di satu sisi, ini berita yang sangat menggembirakan dan niscaya disambut antusiasme seluruh dosen. Di sisi lain, kebijakan ini diprediksi akan berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya penurunan jumlah artikel internasional bereputasi.

Studi terkait hal ini penting dilakukan dalam beberapa tahun ke depan untuk memastikannya.

Terkait dana penelitian, selain jumlahnya yang kecil, sebenarnya yang paling memberatkan dan merepotkan adalah “dualisme” sistem pertanggungjawaban dana penelitian.

Sejak tahun 2017, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK), pendanaan penelitian menggunakan rezim “Standar Biaya Keluaran (SBK).” Penetapan dan pertanggungjawaban dana penelitian berdasarkan keluaran (output)/sub keluaran (sub output).

Artinya, jika target output/sub output sesuai kontrak, apakah dalam bentuk laporan penelitian/naskah kebijakan atau publikasi (jurnal atau prosiding) sesuai dengan jenis/skema penelitian (pembinaan/kapasitas, dasar, terapan, pengembangan, atau strategis), maka pertanggungjawaban peneliti selesai.

Dalam implementasinya, yang digunakan justru rezim “Standar Biaya Masukan (SBM)” yang fokus pertanggungjawaban penggunaan dananya adalah bukti/dokumen pengeluaran.

Dengan “rezim SBK berbau SBM” ini, peneliti memiliki risiko harus mengembalikan kelebihan dana penelitian, sekalipun yang bersangkutan telah memenuhi target output/sub output sesuai kontrak.

Fenomena ini kemudian memunculkan ungkapan di kalangan dosen, “lebih baik kehilangan data penelitian daripada data keuangan”.

Efek domino yang ditimbulkan adalah tidak sedikit dosen, termasuk Profesor yang enggan melakukan penelitian menggunakan dana itu (Farisi, 2022c).

Jika demikian faktanya, mengapa harus malu menjadi Profesor di Indonesia?

Menggunakan analisis Prof. Mikra, faktor yang murni bersumber dari pribadi sang Profesor adalah faktor Kedua.

Walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar. Tidak semua dari mereka hanya duduk santai menikmati tunjangan kehormatan Profesor.

Sumber Kemenristekdikti pada tahun 2018 menyebutkan 3,213 (53.9 persen) dari 5.961 Profesor sudah memenuhi syarat yang tercantum dalam Permenristekdikti Nomor 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, dan 2.748 (46,1 persen) Profesor yang tidak lolos publikasi ilmiah (Bastaman, 2019).

Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 yang hanya 1.551 (28.9 persen) dari 5.366 Profesor.

Sesuai ketentuan, jika seorang Profesor tidak memenuhi syarat tersebut, akan disanksi berupa “pencabutan” Tunjangan Kehormatan Profesor.

Sanksi ekonomi seperti itu bisa saja dilakukan, tetapi dikhawatirkan justru akan kontraproduktif, karena akar persoalannya bukan semata-mata hal itu. Cukup bijak jika Profesor yang tidak memenuhi syarat diberikan “sanksi sosial.”

Misalnya, melarang menjadi promotor yang mewajibkan mahasiswa bimbingannya menulis artikel di jurnal internasional bereputasi, dll. (Suyanto, 2018).

Banyaknya Profesor yang belum memenuhi syarat, diperkirakan salah satu penyebabnya adalah alokasi waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian hanya 30 persen.

Sebagian besar digunakan untuk mengajar, membimbing mahasiswa, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan manajerial dan administrasi dalam rangka pengembangan institusi. Belum lagi jika profesor yang menjadi pejabat di institusi/organisasi (internal dan/atau eksternal) (Bastaman, 2019).

Menumpukan beban kepada Profesor untuk meraih reputasi internasional (institusional, dan personal), dan Nobel juga kurang fair.

Jika pun Profesor diharapkan menjadi lokomotif riset dan publikasi, tentu harus diimbangi oleh kekuatan yang ‘luar biasa’ untuk menarik gerbong dosen dengan jabatan akademik di bawahnya.

Data pada portal SINTA melaporkan ada 7.029 (2,88 persen) Profesor dari total 244.491 dosen di Indonesia. Sanggupkah gerbong sang Profesor yang hanya berkekuatan 2,88 persen menarik gerbong yang begitu banyak, dan tentu saja sangat berat?

Rasio ideal seorang Profesor membimbing dosen yang lebih muda untuk penelitian dan publikasi ilmiah (20ri jumlah dosen di PT); dan kecenderungan dosen di Indonesia meraih Profesor dalam usia yang “tidak muda” juga harus diperhitungkan.

Menggunakan klasifikasi Prof. Sutawi, seorang Profesor memang harus malu jika tujuannya adalah untuk: mengejar jabatan-jabatan struktural baik di dalam atau di luar kampus (profesor politis); status sosial yang bergengsi di masyarakat (profesor sosialis); memperbanyak kekayaan finansialnya baik melalui kegiatan akademis (profesor kapitalis); dan/atau hanya untuk mejeng atau show on di berbagai media diskusi, debat publik, seminar, talk show, dan sejenisnya (profesor selebritis).

Tanpa mengesankan apologis, kita tetap menaruh harapan besar agar Profesor terus aktif menghasilkan karya ilmiah, dan buah pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemaslahatan masyarakat.

Bagaimanapun, Profesor adalah simbol yang mencerminkan salah satu indikator kemajuan dan wibawa PT, serta secara tidak langsung berkontribusi pada pembentukan research university.

Yang utama, seorang Profesor dapat memenuhi kewajibannya dalam siklus tiga tahunan menghasilkan buku ajar atau buku teks, karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau bereputasi, paten, atau karya seni/desain monumental.

Akhirnya, mengutip Ali Ghufron Mukti, “Profesor memiliki kewajiban untuk mentransformasi ilmu dan teknologi yang mereka kuasai dan menyebarluaskannya melalui jurnal internasional melalui penelitian. Tanpa penelitian tidak akan muncul inovasi, tidak akan ada pembaharuan, dan ilmu yang mereka kuasai tidak akan berkembang” (tempo.co, 2018). Semoga.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/08/09/063503571/mengapa-harus-malu-jadi-profesor-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke