Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Mengapa Harus Malu Jadi Profesor di Indonesia?

Kompas.com - 09/08/2022, 06:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menggunakan analisis Prof. Mikra, faktor yang murni bersumber dari pribadi sang Profesor adalah faktor Kedua.

Walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar. Tidak semua dari mereka hanya duduk santai menikmati tunjangan kehormatan Profesor.

Sumber Kemenristekdikti pada tahun 2018 menyebutkan 3,213 (53.9 persen) dari 5.961 Profesor sudah memenuhi syarat yang tercantum dalam Permenristekdikti Nomor 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, dan 2.748 (46,1 persen) Profesor yang tidak lolos publikasi ilmiah (Bastaman, 2019).

Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 yang hanya 1.551 (28.9 persen) dari 5.366 Profesor.

Sesuai ketentuan, jika seorang Profesor tidak memenuhi syarat tersebut, akan disanksi berupa “pencabutan” Tunjangan Kehormatan Profesor.

Sanksi ekonomi seperti itu bisa saja dilakukan, tetapi dikhawatirkan justru akan kontraproduktif, karena akar persoalannya bukan semata-mata hal itu. Cukup bijak jika Profesor yang tidak memenuhi syarat diberikan “sanksi sosial.”

Misalnya, melarang menjadi promotor yang mewajibkan mahasiswa bimbingannya menulis artikel di jurnal internasional bereputasi, dll. (Suyanto, 2018).

Banyaknya Profesor yang belum memenuhi syarat, diperkirakan salah satu penyebabnya adalah alokasi waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian hanya 30 persen.

Sebagian besar digunakan untuk mengajar, membimbing mahasiswa, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan manajerial dan administrasi dalam rangka pengembangan institusi. Belum lagi jika profesor yang menjadi pejabat di institusi/organisasi (internal dan/atau eksternal) (Bastaman, 2019).

Menumpukan beban kepada Profesor untuk meraih reputasi internasional (institusional, dan personal), dan Nobel juga kurang fair.

Jika pun Profesor diharapkan menjadi lokomotif riset dan publikasi, tentu harus diimbangi oleh kekuatan yang ‘luar biasa’ untuk menarik gerbong dosen dengan jabatan akademik di bawahnya.

Data pada portal SINTA melaporkan ada 7.029 (2,88 persen) Profesor dari total 244.491 dosen di Indonesia. Sanggupkah gerbong sang Profesor yang hanya berkekuatan 2,88 persen menarik gerbong yang begitu banyak, dan tentu saja sangat berat?

Rasio ideal seorang Profesor membimbing dosen yang lebih muda untuk penelitian dan publikasi ilmiah (20ri jumlah dosen di PT); dan kecenderungan dosen di Indonesia meraih Profesor dalam usia yang “tidak muda” juga harus diperhitungkan.

Menggunakan klasifikasi Prof. Sutawi, seorang Profesor memang harus malu jika tujuannya adalah untuk: mengejar jabatan-jabatan struktural baik di dalam atau di luar kampus (profesor politis); status sosial yang bergengsi di masyarakat (profesor sosialis); memperbanyak kekayaan finansialnya baik melalui kegiatan akademis (profesor kapitalis); dan/atau hanya untuk mejeng atau show on di berbagai media diskusi, debat publik, seminar, talk show, dan sejenisnya (profesor selebritis).

Tanpa mengesankan apologis, kita tetap menaruh harapan besar agar Profesor terus aktif menghasilkan karya ilmiah, dan buah pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemaslahatan masyarakat.

Bagaimanapun, Profesor adalah simbol yang mencerminkan salah satu indikator kemajuan dan wibawa PT, serta secara tidak langsung berkontribusi pada pembentukan research university.

Yang utama, seorang Profesor dapat memenuhi kewajibannya dalam siklus tiga tahunan menghasilkan buku ajar atau buku teks, karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau bereputasi, paten, atau karya seni/desain monumental.

Akhirnya, mengutip Ali Ghufron Mukti, “Profesor memiliki kewajiban untuk mentransformasi ilmu dan teknologi yang mereka kuasai dan menyebarluaskannya melalui jurnal internasional melalui penelitian. Tanpa penelitian tidak akan muncul inovasi, tidak akan ada pembaharuan, dan ilmu yang mereka kuasai tidak akan berkembang” (tempo.co, 2018). Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com