Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Haruskah Sentralisasi menjadi Pilihan dalam Tata Kelola Organisasi?

Kompas.com - 19/08/2021, 06:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memang diperlukan suatu sistem tertentu untuk mengatur sekaligus mengakomodasi berbagai kepentingan ekonomi, sosial, dan politik.

Sentralisasi adalah salah satu sistem yang banyak diterapkan di banyak negara untuk menjalankan roda pemerintahan, istilah ini berasal dari bahasa Inggris centre yang memiliki arti pusat atau tengah.

Dalam struktur organisasi yang menerapkan sistem ini, kewenangan sepenuhnya dipegang oleh segelintir elite atau manager yang berada dalam posisi yang paling tinggi dan penting.

B.H. Marbun dalam Kamus Politik mengatakan bahwa dalam sentralisasi pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik dilakukan secara terpusat. Dengan kata lain, segala bentuk kewenangan sangat tergantung kepada pemerintah pusat.

Sementara itu, desentralisasi merupakan kebalikan dari sentralisasi. Sistem ini merujuk pada pengalihan atau penyerahan tanggung jawab dan kewenangan untuk pengelolaan sumber daya dari pusat ke pemerintah daerah.

Desentralisasi merupakan respons dari gagalnya sistem pemerintahan yang sentralistik dalam memberikan solusi-solusi untuk daerah dengan beragam lokalitasnya.

Dalam konteks Indonesia sentralisasi atau pemerintahan yang sentralistik berjaya di era Orde Baru sebelum munculnya otonomi daerah.

Sistem ini pun banyak menimbulkan ketidakpuasan terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam yang tidak merata serta kurang sensitivitas negara terhadap karakteristik antardaerah yang berbeda-beda.

Keunggulan dan kelemahan 

Semua sistem memang selalu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing, sama halnya dengan sentralisasi yang memiliki dua sisi mata uang, baik dan buruk.

Dalam artikel yang berjudul Dinamika Sentralisasi dan Desentralisasi di Indonesia Nuradhawati (2019) menjelaskan bahwa sentralisasi memiliki beberapa keunggulan antara lain;

1. Organisasi yang lebih ramping dan efisien.
2. Perencanaan dan pengembangan organisasi yang integratif.
3. Pengelohan sumber daya yang lebih efisien.
4. Kepemilikan aset secara bersama.
5. Koordinasi yang lebih terarah.
6. Pemusatan pakar atau keahlian yang dimiliki anggota secara maksimal.

Namun di sisi lain, sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti;

1. Kualitas pengambilan keputusan sangat dipertanyakan karena dianggap kerap mengesampingkan faktor-faktor penting.

2. Pengembangan potensi anggota yang berjalan sangat lambat karena tidak adanya wahana untuk memotivasi diri dan dominasi pimpinan yang terlalu tinggi.

3. Respons terhadap perubahan juga cenderung berjalan lambat karena keputusan sangat bergantung pada respons segelintir elite yang memegang kekuasaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com