Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM Ungkap Potensi dan Permasalahan Penyediaan Garam Nasional

Kompas.com - 23/06/2021, 10:26 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masyarakat Indonesia sejak zaman dulu sudah menggunakan garam saat memasak.

Saat ini garam sudah berevolusi bukan hanya sekadar penyedap rasa, tetapi menjadi komoditas strategis dan harus menjadi prioritas untuk ditangani. Baik dalam jangka pendek dan rencana aksi untuk jangka menengah dan panjang.

"Capaian produksi garam nasional paling tinggi adalah pada tahun 2015 yaitu 2,9 juta ton, sedangkan kebutuhan garam nasional lebih dari 4 juta ton," kata Dosen dan Peneliti Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Suadi seperti dikutip dari laman UGM, Rabu (23/6/2021).

Menurut Suadi, tingginya kebutuhan garam nasional menyebabkan impor selalu menjadi pilihan. Namun di sisi lain, kebijakan impor garam selalu mengundang perdebatan, bahkan di antara pengambil kebijakan.

Baca juga: Begini Cara KKN ITS Maksimalkan Potensi Desa Wisata di Bali

Perlu revitalisasi usaha garam rakyat

Suadi menambahkan, terkait kebijakan impor garam, dalam siaran pers KPPU pada 20 April 2021 No.034/KPPU-PR/IV/2021 menetapkan impor garam sebesar 3,07 juta ton dengan menjabarkan tiga potensi masalah.

Salah satunya potensi garam industri dari impor yang tidak terpakai masuk ke pasar garam konsumsi. Hal ini sebagai akibat dalam mengestimasi kebutuhan impor.

Untuk mengurangi ketergantungan pada impor garam, Suadi menjelaskan, terdapat beberapa strategi pengembangan yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan revitalisasi usaha garam rakyat dan pengembangan kawasan ekonomi garam baru.

Baca juga: Universitas Terbaik di Indonesia Versi QS WUR by Subject 2021

Revitalisasi usaha pergaraman perlu dikaji seperti pengelolaan berbasis hamparan (skala usaha perlu dihitung) yang dipadukan dengan pengembangan usaha pascaproduksi. Baik yang menyangkut pergudangan, pengelolaan garam, maupun distribusi dan logistik.

Penyebab Indonesia impor garam

Hal ini disampaikan Suadi dalam kegiatan webinar bertema 'Problematika Garam Nasional' yang diadakan Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Pertanian (PAKTA) UGM.

Tema webinar ini merupakan respons atas kontroversi kebijakan impor garam. Pembicara lain dalam webinar tersebut yaitu Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Komoditas Garam Universitas Trunojoyo Madura Ihsannudin.

Baca juga: Intip Peluang Kerja Lulusan FPIK Undip, Ada Program Menyelam Juga Lho

Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab Indonesia impor garam, antara lain:

1. Karena ketergantungan terhadap alam masih tinggi, iklim dan cuaca sangat berperan.

2. Karena masih rendahnya teknologi dan SDM.

3. Karena kelembagaan pemasaran yang tak berpihak, struktur pasar cenderung oligopsonistik dan beroperasinya sistem kapitalistik.

Produksi garam masih tergantung cuaca dan musim

Sementara itu Kasubdit Pemanfaatan Air Laut dan Biofarmakologi Direktorat Jasa Kelautan Zaki Mahasin menerangkan, produksi garam di Indonesia masih bervariasi dan tergantung cuaca atau musim. Harga garam lokal pun belum diatur sehingga fluktuatif mengikuti pasar.

Selama ini, impor mayoritas berasal dari Australia, India, dan Tiongkok. Zaki menambahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga melakukan Program Pengengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGaR).

Baca juga: Intip Biaya Kuliah Prodi Soshum Universitas Brawijaya Jalur Mandiri

Program ini merupakan pemberdayaan petambak garam dengan segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petambak garam untuk melaksanakan usaha produksi garam dengan lebih baik.

"Bagaimana basis regulasinya, kita menerapkan aturan agar produk lokal bisa ditingkatkan, kita juga punya Permendag 47/2016 pasal 2 dan pasal 6. Pasal 2 ini menerapkan kewajiban menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," beber Zaki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com