Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Tingkatkan Mutu Pendidikan dan Layanan BK, Guru Besar UPI Rekomendasikan 2 Hal

Kompas.com - 09/06/2021, 12:59 WIB
Dwi NH,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Kedua, lanjut Agus, adanya standar pendidikan yang secara sistematis disiapkan untuk menguasai bidang keilmuan (the Scientific Basis of the Arts) sebagai praktik profesi unik tersebut.

Ciri ketiga, adanya latihan praktik profesional yang sistematis dan tersupervisi secara efektif. Tujuannya, untuk menjamin penguasaan dan pemeliharaan kompetensi dan integritas pribadi sehingga menjadi praktisi yang aman.

Baca juga: Risma Minta SDM di 4 Layanan Kemensos Ini Miliki Integritas dan Moral

Sementara terakhir, ciri keempat adalah imbalan yang layak dan diikuti dengan tanggung jawab guna meningkatkan profesionalitas secara berkelanjutan.

Agus memaparkan, berlandaskan pada pasal 1 ayat (6) UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia (RI) telah melahirkan dua regulasi penting.

Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 27 Tahun 2008 tentang kualifikasi pendidikan dan kompetensi konselor di Indonesia.

“Peraturan ini dibuat sebagai landasan legal tentang standar kompetensi dan pendidikan akademik dan pendidikan profesi konselor di Indonesia,” imbuh Agus.

Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenal Perbedaan Pendidikan Akademik, Vokasi dan Profesi

Kedua, sambung dia, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan menengah.

Peraturan tersebut, harus dilengkapi dengan pedoman operasional bimbingan dan konseling. Utamanya saat memasuki sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK).

“Jika diimplementasikan secara konsisten dan berkeadilan, regulasi ini dapat diandalkan menjadi payung hukum bagi kebijakan dan praktik bimbingan dan konseling di sekolah,” ucap Agus.

Meskipun demikian, imbuh dia, regulasi itu belum secara komprehensif melandasi penyelenggaraan pendidikan dan layanan profesional bimbingan dan konseling.

Baca juga: Menguatkan Peran Bimbingan Konseling Saat Belajar dari Rumah

Implementasi kebijakan dan praktik BK

Dalam implementasi, Agus mengatakan, kebijakan dan praktik bimbingan dan konseling di sekolah dari periode ke periode pergantian aparat terkait selalu mengalami pasang surut.

“Penyebabnya, karena pemahaman yang tidak tepat, kebijakan dan pengaturan yang tidak konsisten. Bahkan, tidak berkeadilan baik di tingkat kementerian maupun pemerintah daerah (pemda),” ujarnya.

Agus mencontohkan, inkonsistensi dan kontradiksi kebijakan Direktur Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) tentang rekrutmen dan pengangkatan guru BK atau konselor dari lulusan prodi non-BK. Bahkan, lulusan prodi juga sangat tidak relevan.

Situasi ini, kata dia, menghadapkan para konselor dan pendidik konselor pada situasi konflik vertikal serta kemunduran.

Baca juga: Korban Penculikan dan Pencabulan di Cianjur Jalani Bimbingan Konseling Psikologi

Lebih lanjut Agus mengatakan, inkonsistensi lainnya di sejumlah daerah konselor diberi jam masuk kelas 1 hingga 2 jam pelajaran, sementara di daerah lain tidak.

“Untuk daerah tertentu, rekrutmen konselor dengan tegas mensyaratkan kepemilikan ijazah kesarjanaan pendidikan bidang bimbingan dan konseling, sedangkan di daerah lain tidak, ucapnya.

Sementara itu, Dinas Pendidikan provinsi di daerah tertentu mengangkat pengawas atau supervisor BK, sedangkan di daerah lainnya tidak.

Baca juga: Dinas Pendidikan Bogor Nyatakan Kesiapan PTM dari Prokes hingga Kurikulum

Berdasarkan hasil penelitiannya (2020), ia menunjukkan bahwa penyelenggaraan layanan BK masih belum sesuai aturan yang ditetapkan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com