Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramadhan di Swiss, Mahasiswa S3 Ini Puasa Tapi "Nggak" Terasa Lapar

Kompas.com - 20/04/2021, 08:02 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Berpuasa di negara yang mayoritas penduduknya muslim adalah hal yang biasa untuk sebagian orang. Tapi beda ceritanya berpuasa sebagai minoritas.

Apalagi bagi yang tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan di luar negeri, tepatnya di Swiss, negeri yang terkenal dengan pegunungan Alpen dan keindahan alamnya yang mempesona.

Berpuasa di Swiss, tentu memiliki kesan tersendiri dihati Puspita Ayu Permatasari.

Ayu, begitu sapaan akrabnya adalah mahasiswi asal Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan Doktoral (S3) dalam bidang teknologi komunikasi untuk Batik dan pariwisata di Università Della Svizzera Italiana, Lugano, Swiss bagian selatan.

Baca juga: Kisah Mahasiswa Indonesia Puasa di Ceko, Gentha: Saya Ingin Buat Menu Khas Ceko untuk Berbuka

Tidak hanya itu, Ayu saat ini juga menjabat sebagai Wakil Koordinator Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia Kawasan Amerika-Eropa (PPIDK Amerop)

Selain itu, Ayu juga merupakan koordinator riset di Pusat Inkubasi Teknologi untuk warisan budaya dunia di institusi USI UNESCO Chair di kampusnya.

UNESCO merupakan kepanjangan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menaungi bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan.

Durasi puasa 2021 saat musim semi

Bagi Ayu, tahun ini adalah tahun keempatnya berpuasa di Swiss sejak menetap tahun 2017 silam. Tapi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana durasi puasa lebih panjang karena jatuh pada musim panas.

Pada Ramadhan 2021 ini, Ayu mengaku beruntung sebab tahun ini puasa di Swiss jatuh pada musim semi dengan durasi sekitar 15 jam.

"Puasa dimusim semi di sini normalnya dimulai dari jam 04.40 subuh hingga 8.16 malam, keadaan cuacanya sejuk musim semi dan sahurnya pun dapat dilakukan maksimal pukul 04.30 pagi, jadinya nggak terasa lapar dibandingkan puasa di musim panas," tutur Ayu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (18/4/2021).

Baca juga: Cerita Ramadhan di Perancis, Wisnu Punya Trik Puasa Berdurasi Panjang

Saat ditanya mengenai menu buka puasa, Ayu menyampaikan bahwa ia berbuka dengan kue dan keju ciri khas negara Swiss.

Lantaran ia tinggal di wilayah Swiss yang berbatasan dengan Italia, ia kerap menyantap masakan khas setempat seperti Lasagna dan Spageti lengkap dengan toping Mozarellanya.

Tapi jika ia rindu masakan Indonesia, Ayu mengaku memasak sendiri menu-menu klasik Indonesia.

Sendiri namun tidak sendirian

Ayu juga menyampaikan bahwa di daerah tempatnya tinggal tidak terlalu banyak umat muslim, bahkan hanya ada dua orang pelajar Indonesia di kota Lugano, Swiss bagian selatan.

Mengingat sedikit komunitas muslim di kota Lugano dan kondisi pandemi, Ayu mengaku lebih sering berbuka puasa secara individual.

Hal ini juga dilakukan oleh banyak teman-teman pelajar Indonesia di kota lainnya. Terkadang mahasiswa muslim asal Indonesia selalu menyempatkan berbuka bersama dengan berkumpul bersama dengan sesama pelajar maupun warga diaspora Indonesia lainnya dengan mengikuti protokol kesehatan setempat.

Hal serupa juga terjadi pada shalat tarawih yang harus dilakukan secara sendiri-sendiri. Sebab di daerah tempat tinggalnya tidak ada masjid, dan masjid pun hanya ada di kota-kota besar seperti Zurich dan Bern.

Baca juga: Beasiswa bagi Mahasiswa Politeknik Negeri Bandung, Ini Syaratnya

"Sebelum pandemi ini kalau lagi ke kota lain, masih bisa tarawih bareng, imamnya pakai bahasa lokal seperti Bahasa Perancis, Itali, dan Jerman. Saat ini dalam kondisi pandemi shalat tarawih dilakukan secara individu saja" terangnya.

Akan tetapi menurutnya hal ini bervariasi terutama di kota-kota besar yang terdapat banyak orang Indonesianya di Swiss seperti Zurich dan Bern.

Menurutnya kalau orang Indonesianya banyak maka bisa buka bersama dan menjalin tali silaturahmi. Namun, mengingat situasi yang masih pandemi saat ini, Ayu menerangkan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia Bern (KBRI Bern) menggelar acara santai ngabuburit secara virtual.

Lingkungannya santai dan malah mendukung

Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan semangat Ayu dalam menjalankan ibadah puasa di Swiss. Ayu bercerita bahwa ia beruntung sebab di tempat tinggal di Lugano, Swiss lingkungannya sangat santai.

"Kalau rekan-rekan ada acara dan ngundang makan, saya menyesuaikan dengan bilang kalau saya baru bisa datang malam untuk acara makan malam dan jam makan malamnya itu setelah buka puasa," jelasnya.

Lebih lanjut, Ayu menambahkan, meskipun tinggal sebagai minoritas, tetapi warga di tempatnya tinggal sangat terbuka seperti tidak ada larangan dari masyarakat setempat terkait kebebasan beragama.

"Justru mereka memberikan selamat beribadah puasa kepada saya, termasuk di lingkungan kantor karena mereka tahu saya adalah muslim," tuturnya.

Ditanya mengenai aktivitas yang dilakukan selama berpuasa, Ayu menerangkan bahwa selain mengajar, ia sedang mendalami risetnya mengenai mesin kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk mengenali motif batik yang sedang dipakai.

Baca juga: Desa Terang Desa Internet, Inisiasi PPI Dunia Hadirkan Internet Daerah 3T

Ia mengaku riset yang dilakukan merupakan program bersama yang didanai oleh LPDP dan USI UNESCO Chair Swiss.

Adapun mesin kecerdasan buatan itu bernama iWareBatik (www.iwarebatik.org), yang mana Aplikasi seluler iWareBatik tersebut dapat diunduh di platform Android dan iOs.

Teknologi yang diluncurkan pada tanggal 17 Agustus 2020 ini membantu diplomasi Indonesia melalui teknologi untuk membantu pelestarian warisan budaya tak benda Batik Indonesia di dunia.

Penulis: Febi Eka Putri (Dirkominfo PPI Dunia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com