Namun, amanat tersebut belum cukup mampu menginspirasi rancangan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan di lapangan. Akibatnya, lembaga pendidikan kita kurang mampu menghasilkan lulusan SDM yang berkualitas, yang berkompeten dan bisa bersaing di pasar kerja global.
Lebih dari itu, manusia Indonesia cenderung kurang nasionalis dan kurang inklusif enggan menerima perbedaan (kurang infklusif). Hal itulah yang mendorong pemerintah mengajukan usulan merevisi kembali UU Sisdiknas.
Usulan revisi UU Sisdiknas yang diinisiasi pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dan hingga kini masih digodok oleh Komisi X DPR.
Tujuan Revisi UU tersebut dikaitkan dengan program dan target kebijakan Merdeka Belajar tetap berlanjut dan semua target akan tercapai pada 15 tahun ke depan.
Konsep Merdeka Belajar paling tepat digunakan sebagai filosofi perubahan dari metode pembelajaran yang terjadi selama ini. Sebab, dalam Merdeka Belajar terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi sekolah, guru dan anak didik untuk menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran.
Dengan begitu, Merdeka Belajar adalah sebuah proses yang memanusiakan manusia, bukan mendudukan manusia di bawah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perubahan gaya hidup dan perkembangan media sosial.
Menurut Menteri Nadiem, revisi UU Sisdkinas memiliki 11 target yang menjadi fokus utama Merdeka Belajar 2020-2035, terdiri enam target berada di kategori pendidikan dasar dan menengah, dua target di kategori tata kelola, dan tiga target di kategori pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi.
Satu hal yang ditargetkan dalam revisi UU Sisdiknas adalah membuat peta jalan pendidikan, disingkat peta pendidikan. Hal itu diperlukan untuk memberi cakrawala yang jelas dalam rangka menyiapkan bangsa, mendidik calon pelaku kebangsaan mendatang.
Menurut penulis, peta pendidikan yang baru mesti menekankan kemanusiaan. Artinya, pendidikan dikembangkan karena para murid, guru dan orangtua adalah manusia dengan seluruh dimensi kepribadiannya yang utuh, bukanlah sebuah kotak yang perlu dimasuki pengetahuan dan keterampilan saja.
Dengan pendirian itu, tidaklah cukup kalau perhitungan atas pendidikan itu hanyalah diletakkan pada lingkup kepandaian dan keterampilan yang diarahkan untuk kemajuan ekonomi, politik, dan budaya semata; apalagi dengan memusatkan perhatian pada kepentingan kelompok, entah politis, ekonomi, suku, profesi maupun religiusitas tertentu.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan