Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghadirkan Sekolah Menyenangkan di Era "Blended Learning"

KOMPAS.com - Teknologi menjadi sebuah keniscayaan di masa sekarang ini, terutama selama pandemi covid-19. Tantangannya kemudian adalah bagaimana menghadirkan proses pendidikan blended learning secara menyenangkan, termasuk saat sekolah memasuki normal baru pendidikan nantinya.

Terkait hal itu, Gerakan Sekolah Menyenangkan dan Dinas Pendidikan Boyolali menggelar webinar dengan mengangkat tema "Blended Learning ala Gerakan Sekolah Menyenangkan: Model Pembelajaran Masa Depan" (25/6/2020).

"Kita ingin pusat pendidikan kita menjadi "sekolah taman" yang secara fisik lingkungannya akan sangat menyenangkan. Juga secara psikis terjadi interaksi menyenangkan; terjadi interaksi menyenangkan antarsiswa, siswa dengan guru atau antarguru," harap Darmanto, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali.

Oleh karenanya, Darmanto melihat Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara saling asah, asih dan asuh.

"Kita ingin membangun ekosistem pendidikan yang ideal dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan; siswa, guru, orangtua dan masyarakat dengan menghadirkan inovasi yang menjawab tantangan dan kearifan lokal," ujarnya.

Rancang ulang pendidikan

Menjawab tantangan pendidikan masa depan, Muh. Nur Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menjelaskan pendidikan harus dapat menjawab tantangan perubahan dunia.

"Dunia akan berubah lebih otomatis, semua pekerjaan dilakukan oleh robot, alam semesta akan terhubung (hyperconnected) melalui IoT, algoritma akan lebih memahami kondisi biologis dan psikologis manusia melalui sensor network dan bioengineering, informasi dan pengetahuan tumpah ruah di internet, dan apa yang ditanyakan oleh manusia dalam sedetik akan dijawab oleh mesin pencari yang ditanam di otak manusia," jelas Rizal.

Dosen Faluktas Teknik UGM ini kemudian menegaskan, "artinya dunia membutuhkan karakter manusia yang baru, lebih empatik, keseimbangan mental pada diri manusia sangat dibutuhkan, kecerdasan bukan pada IQ tetapi pengelolaan emosi."

"Orientasi kebijakan politik pendidikan dari standarisasi dan kepatuhan harus berubah ke pendidikan personalisasi (wellbeing, minat bakat) dan sejalan dengan kebutuhan kompetensi revolusi industri 4.0," ujar Rizal.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah merancang ulang tujuan pengelolaan, kurikulum, strategi delivery dan asessment yang tidak mengkompetisikan siswa.

"(Seharusnya) malah mengkolaborasikan antarsiswa, guru, sekolah. Pelajarannya tidak mono tetapi lintas disiplin, deliverinya bukan konten pengetahuan melainkan meta-kognisi atau kecakapan dasar berpikir ilmiah," jelasnya.

Rizal melanjutkan, "asessmentnya bukan nilai tetapi support dan feedback terhadap proses belajar siswa dan gurunya sehingga terbentuk portofolio sebagai produk growth-mindset siswanya."

Rizal juga menyampaikan, "kegiatan belajar di sekolah terasa membosankan bagi sebagian besar siswa yang kita tanyai. Mereka merasa tidak diajar/dididik, melainkan diberi tugas mengerjakan soal, PR dan ujian."

Ia menyampaikan siswa menjadi dituntut berprestasi tetapi tujuannya untuk kepentingan reputasi dan akreditasi sekolah. "Situasi ini diciptakan oleh pemerintah sendiri yang tanpa sadar membuat stigmasi sekolah favorit/unggulan melalui kebijakan UN, USDA dan lainnya," tegas Rizal.

"Apa yang perlu dibenahi? Orientasi dan goal sekolah harus diubah. Jangan menuntut penyeragaman kompetensi siswa dan budaya kepatuhan berbasis dokumen tetapi kondisi nyata (evidence based)," ujar Rizal.

Untuk itu, pihaknya terus mendorong sekolah untuk menciptakan ekosistem belajar yang menyenangkan dan memanusiakan siswa didik.

"Proses pembelajaran yang kurikulumnya, metode pengajarannya dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa (user), memfasilitasi pengalaman individual siswa yang unik dengan beragam potensi, minat, bakat (personalised learning)," jelas Rizal.

Ia menambahkan, "digital learning bisa dipakai karena transfer knowledge bisa dilakukan dengan lebih fleksibel dan santai."

Hal senada disampaikan co-founder GSM, Novi Poespita yang melihat blended learning bukan sekadar persoalan memindahkan pembelajaran tatap muka menjadi berbasis daring saja.

"Syaratnya blended learning bukan sekedar memindahkan isi buku melalui tugas online tetapi pembelajarannya harus fleksibel, memenuhi kebutuhan siswa, sesuai dengan potensi minat bakat siswa yang berbeda-beda," ujar Novi mengingatkan.

Dosen Psikologi UGM ini menyampaikan, blended learning harus mampu memberikan ruang lebar bagi siswa untuk banyak melakukan refleksi dalam belajar sehingga terbangun rasa kepemilikan siswa terhadap proses belajarnya sendiri atau belajar mandiri.

Untuk itu, menurutunya, guru perlu dibekali pelatihan khusus yang mendorong perubahan dalam beberapa bidang, di antaranya kompetensi dan wawasan tentang pengajaran yang sejalan dengan kebutuhan siswa terkait keahlian khusus.

"Kebiasaan mengajar bukan mengukur hapalan atau pemahaman siswa, melainkan kompetensi siswa untuk memiliki karakter pembelajar sepanjang hayat yakni; rasa ingin tahu, kreatif, gigih, empati dan analitis untuk memecahkan masalah," jelas Novi.

Ia kembali menegaskan, "mindset (pola pikir) pengajarannya harus berorientasi pada student centered dan problem based learning."

https://www.kompas.com/edu/read/2020/06/26/110651271/menghadirkan-sekolah-menyenangkan-di-era-blended-learning

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke