Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

"Arwah Kerajaan" Dalam Budaya Politik Indonesia

Kompas.com - 01/02/2023, 11:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DEMONSTRASI di Indonesia lumrahnya dilakukan kaum buruh, aktivis, maupun mahasiswa. Kaum tersebut umumnya yang “secara wajar” kerap kali lantang bersuara dalam menyuarakan aspirasi, tuntutan, maupun bentuk-bentuk ketidakadilan.

Namun, beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan adanya demonstrasi yang dilakukan para kepala desa dari berbagai wilayah di Indonesia. Selain karena jarang terjadi, demonstrasi tersebut menjadi fenomenal karena tuntutannya yang kontroversial dan tidak main-main.

Dilansir dari berbagai media elektronik, para demonstran yang tergabung dalam Apdesi, Abpednas, dan PPDI, menuntut diberlakukannya penambahan masa jabatan kepala desa dari semula enam tahun menjadi sembilan tahun. Selain itu, para kepala desa (kades) tersebut juga menuntut penambahan periode jabatan, dari semula maksimal hanya dua periode menjadi tiga periode.

Baca juga: Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa dan Degradasi Kualitas Demokrasi Lokal

Meskipun banyak dikritik, jika hal tersebut terealisasi, kepala desa tentu akan memiliki masa jabatan paling lama sebanyak 27 tahun, sebuah angka yang hanya berbeda lima tahun saja di bawah masa jabatan Presiden Soeharto saat pemerintahan Orde Baru berlangsung.

Pertanyaanya, mengapa para kepala desa begitu menggebu-gebu menuntut hal tersebut? Meskipun aksi tersebut disinyalir merupakan hasil operasi intelijen dan sarat akan kepentingan partai politik, salah satu alasan yang dikemukakan adalah untuk mengurangi konflik di wilayah desa akibat perpecahan yang timbul saat proses pemilihan kepala desa.

Terlepas dari apapun alasannya, tentunya tuntutan ini merupakan suatu upaya yang dilakukan secara kolektif untuk melanggengkan kekuasaan kepala desa.

Posisi kepala desa sebagai unit pimpinan terkecil di lingkungan pemerintahan agaknya memiliki posisi tawar yang menurut sebagian pihak sangatlah menarik. Selain karena memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana desa bagi pembangunan di daerahnya, yang berjumlah sekitar Rp 1 miliar per tahun, posisi kepala desa memiliki prestise tersendiri.

Bagi sebagian orang, kepala desa tidak hanya sebuah jabatan politik berskala kecil, tetapi juga representasi pimpinan adat yang mewakili budaya masyarakat setempat. Dari aspek sosio-kultural, kepala desa memiliki kedudukan politik yang unik di mata masyarakat pedesaan dan terkadang dianggap sebagai “raja kecil” di lingkungannya.

Hal itu diduga akibat dari manifestasi historis budaya politik Indonesia di masa lalu, yang bersumber sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berdiri.

Budaya Politik Zaman Kerajaan

Indonesia memiliki sejarah yang amat panjang terkait kebudayaan politik. Budaya politik monarki yang kental sebelum zaman kemerdekaan, selama ribuan tahun, seperti di zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, tentu memengaruhi persepsi sosial masyarakat terhadap penguasa, pemerintah, ataupun pemimpin negara.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia selalu hidup di bawah naungan berbagai kerajaan maupun dinasti politik, meskipun bukti sejarahnya lebih terbatas dibanding kawasan lain. Kerajaan tertua yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia yakni Kutai Kartanegara, baru muncul pada abad ke-5 M.

Baca juga: Tinggalkan Feodalisme, Budayakan Sikap Kritis Demi Indonesia Maju

Sebelumnya, konsep tentang kerajaan sudah jauh lebih dahulu muncul di belahan benua lainnya, seperti di peradaban Mesir tahun 3000 SM dan Romawi Kuno sekitar 750 SM.

Sistem kekuasaan yang berbentuk dinasti pada zaman kerajaan membuat masyarakat Indonesia sangat akrab dengan tradisi politik ini. Dalam tradisi kerajaan, budaya kerja bisa terbentuk secara feodal, dan pergantian kekuasaan dilaksanakan melalui hubungan keluarga secara turun-temurun.

Hal itu menjadi salah satu ciri khas budaya politik di Indonesia, yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh bangsa Eropa ketika datang dan menjajah wilayah Nusantara. Demi meraih kepentingannya, bangsa Eropa yang telah lebih dahulu mengalami masa-masa kerajaan dengan sangat mudah memecah belah kerajaan-kerajaan tersebut dan menjadikannya wilayah koloni.

Dalam bukunya yang berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru, Prof Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa tradisi kekuasaan feodal bak sebuah kerajaan ini juga terjadi di desa-desa yang dipimpin langsung oleh kepala desa. Di Maluku atau Maluku Tengah misalnya, istilah desa disebut dengan “negeri” dan kepala desanya disebut “raja”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baru Seminggu, Jaring Hitam Penghalang Pemandangan Gunung Fuji Banyak Dilubangi Wisatawan

Baru Seminggu, Jaring Hitam Penghalang Pemandangan Gunung Fuji Banyak Dilubangi Wisatawan

Tren
Menilik Program Mirip Tapera di China, Iuran Wajib, Dipotong dari Gaji Bulanan

Menilik Program Mirip Tapera di China, Iuran Wajib, Dipotong dari Gaji Bulanan

Tren
Perjalanan Tapera, Digulirkan Saat Era SBY dan Kini Dijalankan Jokowi

Perjalanan Tapera, Digulirkan Saat Era SBY dan Kini Dijalankan Jokowi

Tren
Donald Trump Dinyatakan Bersalah Menyuap Aktris Film Dewasa

Donald Trump Dinyatakan Bersalah Menyuap Aktris Film Dewasa

Tren
Kementerian ESDM Akui Elpiji 3 Kg Tidak Terisi Penuh, Ini Alasannya

Kementerian ESDM Akui Elpiji 3 Kg Tidak Terisi Penuh, Ini Alasannya

Tren
Buku Panduan Sastra Mengandung Kekerasan Seksual, Kemendikbud Ristek: Sudah Kami Tarik

Buku Panduan Sastra Mengandung Kekerasan Seksual, Kemendikbud Ristek: Sudah Kami Tarik

Tren
Adakah Manfaat Berhenti Minum Kopi?

Adakah Manfaat Berhenti Minum Kopi?

Tren
BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 31 Mei-1 Juni 2024

BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 31 Mei-1 Juni 2024

Tren
[POPULER TREN] Bayi Tertabrak Fortuner, Orangtua Bisa Dipidana? | Mahasiswa UM Palembang Diduga Plagiat Skripsi Lulusan Unsri

[POPULER TREN] Bayi Tertabrak Fortuner, Orangtua Bisa Dipidana? | Mahasiswa UM Palembang Diduga Plagiat Skripsi Lulusan Unsri

Tren
Parlemen Israel Loloskan RUU yang Menyatakan UNRWA sebagai Organisasi Teroris

Parlemen Israel Loloskan RUU yang Menyatakan UNRWA sebagai Organisasi Teroris

Tren
Apakah Haji Tanpa Visa Resmi Hukumnya Sah? Simak Penjelasan PBNU

Apakah Haji Tanpa Visa Resmi Hukumnya Sah? Simak Penjelasan PBNU

Tren
Satu Orang Meninggal Dunia Usai Tersedot Turbin Pesawat di Bandara Amsterdam

Satu Orang Meninggal Dunia Usai Tersedot Turbin Pesawat di Bandara Amsterdam

Tren
Pria Jepang yang Habiskan Rp 213 Juta demi Jadi Anjing, Kini Ingin Jadi Hewan Berkaki Empat Lain

Pria Jepang yang Habiskan Rp 213 Juta demi Jadi Anjing, Kini Ingin Jadi Hewan Berkaki Empat Lain

Tren
9 Orang yang Tak Disarankan Minum Teh Bunga Telang, Siapa Saja?

9 Orang yang Tak Disarankan Minum Teh Bunga Telang, Siapa Saja?

Tren
MA Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah, Diputuskan 3 Hari, Picu Spekulasi Jalan Mulus bagi Kaesang

MA Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah, Diputuskan 3 Hari, Picu Spekulasi Jalan Mulus bagi Kaesang

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com