Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Tinggalkan Feodalisme, Budayakan Sikap Kritis Demi Indonesia Maju

Kompas.com - 04/10/2021, 16:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENDIDIKAN merupakan salah satu sektor penting bagi suatu negara karena kualitas suatu bangsa dapat diukur dari mutu pendidikannya. Artinya, intelektualitas memegang peranan penting atas majunya suatu bangsa.

Melalui pendidikan yang tepat, manusia diasah untuk berpikir logis, rasional, dan kritis. Jika hal ini terwujud bukan hanya mutu masyarakatnya saja yang akan meningkat, tetapi perubahan ke arah yang lebih baik dan humanis juga akan dimungkinkan.

Banyak sekali perubahan terjadi di berbagai belahan dunia akibat dari kegiatan berpikir kritis yang dimulai dari keresahan terhadap apa yang selama ini dianggap baik-baik saja. Padahal, sebenarnya sarat dengan hal-hal yang merugikan.

Dalam tataran global, gerakan feminisme adalah salah satu contohnya. Paham yang menuntut kesetaraan dan keadilan gender ini adalah respons atau kritik dari dominasi ideologi partriarki yang memberikan privilese bagi kelompok laki-laki dan meminggirkan posisi perempuan sebagai manusia.

Perjuangan kelompok feminis melawan ketidakadilan berbasis gender tidaklah mudah. Mereka terus mendapatkan tantangan baik dari kelompok masyarakat berbasis budaya dan bahkan dari kalangan akademik.

Melalui dialektika panjang dan berbagai kajian kritis, mereka terus berupaya mendudukkan argumen dalam kerangka logis-ilmiah demi menghancurkan mitos-mitos masyarakat patriarkis yang merugikan dan membatasi gerak perempuan untuk maju.

Meskipun belum sepenuhnya maksimal, perjuangan kelompok feminis cukup membuahkan hasil. Selain berhasil menjadi kajian ilmiah di universitas, feminisme juga telah banyak memajukan taraf hidup perempuan terutama terkait hak atas pendidikan, hak politik, hak ekonomi, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, Edward Said melalui konsep kritisnya tentang orientalisme mampu menggugat cara pandang, hegemoni, dan mitos-mitos yang diciptakan Barat tentang Timur yang selama berabad-abad Timur diposisikan sebagai objek pengetahuan mereka.

Di Indonesia, baik di era kolonialisme hingga awal kemerdekaan, pendidikan telah menjadi senjata utama untuk keluar dari belenggu penjajahan.

Tokoh-tokoh besar seperti Tirto Adhi Soerjo, Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, Cipto Mangunkusumo, dan tokoh besar lainnya telah membuktikan bahwa pendidikan telah membawa perubahan besar untuk Indonesia.

Mulai dari kesadaran kritis untuk merdeka dari penjajahan kolonial, membentuk negara kesatuan, hingga mewujudkan mimpi besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun Indonesia modern.

Selain itu, 32 tahun pemerintahan Orde Baru juga berhasil digulingkan melalui berbagai kritik generasi muda dan pengembangan kajian ilmiah yang ditujukan untuk membongkar segala ketidakberesan dari rezim ini.

Alhasil, kejatuhan Orde Baru menjadi awal dari masa kebebasan berpendapat yang sebelumnya dikekang oleh pemerintah.

Feodalisme masih mengakar 

Meskipun menjanjikan perubahan besar, membangun pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter dan berkualitas bukanlah perkara mudah. Kita masih harus berhadapan dengan masalah kualitas mental.

Dikutip dari tulisan Saiful Mahdi yang berjudul Feodalisme dan Kebebasan Akademik, Mochtar Lubis dalam orasi kebudayaannya tahun 1977 merangkum enam sifat masyarakat Indonesia, antara lain: hipokritis dan munafik, kurang bertanggung-jawab, feodalistik, percaya akan hal-hal yang bersifat takhayul, artistik, dan berwatak lemah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com