Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Menghayati Makna Hari Kartini

Kompas.com - 23/04/2022, 04:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP tahun pada tanggal 21 April, masyarakat Indonesia merayakan Hari Kartini sebagai hari perjuangan kaum perempuan Indonesia menyetarakan hak dengan kaum lelaki.

Hari Kartini senantiasa dirayakan secara gemerlap di mana kaum tua-muda perempuan Indonesia menggunakan busana tradisional dari berbagai daerah Nusantara sebagai ekspresi Bhinneka Tunggal Ika.

Justru di tengah suasana Bhineka Tunggal Ika maka ada pula yang berupaya menghayati makna Hari Kartini khusus mengenai tokoh yang dielu-elukan sebagai tokoh perjuangan kaum perempuan adalah Raden Ajeng Kartini.

Penghayatan tersebut cukup absah sebab fakta sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum Kartini sudah tampil perempuan Nusantara yang bahkan tidak perlu memperjuangkan hak perempuan sebab sudah terbukti berjaya menempatkan diri setara dengan kaum lelaki seperti ratu Majapahit, Tribhuwana Tunggadewi sebagai penguasa ketiga Majapahit yang memerintah pada tahun 1328-1351.

Kepemimpinan Tribhuwana tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Nusantara sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke berbagai arah yang dipimpin oleh Gajah Mada sebagai pelaksana Sumpah Palapa.

Pada tahun 1343, Majapahit mengirim Arya Damar mengalahkan raja Kerajaan Pejeng, Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali.

Pada tahun 1347, Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu.

Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit sebagai penguasa di seluruh wilayah Sumatra.

Mahapatih Gajah Mada lebih layak disandingkan dengan Tribhuwana Tunggadewi ketimbang Hayam Wuruk sebab Gajah Mada membahanakan Sumpah Palapa dan memperluas wilayah kemaharajaan Majapahit pada masa kepemerintahan bukan Hayam Wuruk tetapi Tribhuawana Tunggadewi.

Gajah Mada wafat pada tahun 1350 berarti setahun sebelum Tribhuwana menyerahkan tahta kepada puteranya, yaitu Hayam Wuruk.

Lalu ada pula Keumalahayati yang lebih dikenal sebagai Malahayati yang merupakan cicit Sultan Salahuddin Syah memasuki akademi militer kerajaan Ma'had Baitul Makdis setelah menamatkan pendidikan pesantren.

Di akademi militer kerajaan, Malahayati tampil sebagai mahasiswi yang berprestasi sehingga diangkat menjadi komandan protokol Istana.

Setelah sang suami gugur di pertempuran Selat Malaka melawan Portugis, Malahayati berperan sebagai laksamana perempuan pertama bukan hanya di Aceh, namun juga di dunia membentuk armada sendiri untuk menggantikan mendiang suaminya bertempur.

Pasukannya terdiri dari para janda yang tangguh bertempur di lautan.

Sebagai panglima angkatan bersenjata Aceh, Malahayati menyusun sistem pertahanan yang kuat di daratan maupun lautan.

Mereka memiliki benteng di Teluk Lamreh Kraung Raya dan 100 kapal. Ketangguhan Malahayati dan pasukannya membuat armada Portugis bisa dipukul mundur.

Mereka juga berhasil menggugurkan utusan Belanda, Cornelis de Houtman pada tanggal 11 September 1599.

Demikian pula seorang perempuan Minahasa, Dr. Marie Thomas pada tahun 1922 bukan hanya menulis surat dalam bahasa Belanda, namun sudah resmi diwisuda sebagai dokter perempuan pertama di Indonesia yang kemudian juga menjadi dokter spesialis ginealogi dan obstretika pertama di Indonesia.

Prestasi membanggakan Tribhuwana Tunggadewi, Malahayati, Dr Marie Thomas serta Raden Ajeng Kartini pada abad XXI dipermantap oleh Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama Repubik Indonesia merupakan bukti tak terbantahkan bahwa kaum perempuan Indonesia sejak dahulu kala telah senantiasa mempersembahkan mahakarsa dan mahakarya terbaik bagi bangsa, negara dan rakyat Indonesia setara duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kaum lelaki Indonesia. MERDEKA!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com