Oleh Suherman
SUDAH hampir tujuh tahun gerakan literasi nasional yang digulirkan oleh pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan.
Sebentar lagi rezim akan berganti, akan tetapi sampai hari ini tidak terdengan bagaimana keberlanjutannya dan hasilnya, malah yang dirasaskan semakin hari gerakan literasi ini terasa semakin sayup-sayup dan redup.
Baca juga: 3 Bocah Naik Ojol demi Kenalan Pria di Facebook, Ini Pentingnya Literasi Digital Media
Padahal budaya literasi adalah salah satu fondasi utama untuk menunjang suksesnya program merdeka belajar. Negara yang cukup berhasil melakukan gerakan literasi dalam skala massif adalah China, hanya dalam tempo 15 tahun kita saksikan China telah menjadi salah satu kekuatan dunia.
Apa gerangan yang menyebabkan gerakan literasi di Indonesia layu sebelum berkembang, sehingga gerakan terkesan hanya menjadi gertakan? Menururt penulis ada beberapa hal substasial yang tidak dilakukan dalam gerakan literasi nasional:
Pertama, kemandulan konseptual. Membangun budaya literasi merupakan upaya yang kompleks menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial.
Tidak sesederhana seperti pandangan orang banyak yang melihat rendahnya budaya literasi hanya disebabkan oleh kurangnya infrastruktur seperti perpustakaan dan buku. Kemandulan konseptual terjadi karena tidak ditunjang oleh riset yang komprehensif dan mendalam melalui pendekatan multiperspektif atau multidisiplin.
Budaya literasi sangat jarang dijadikan objek penelitian oleh para akademisi atau menjadi program prioritas oleh institusi terkait seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal ini bisa dilihat dari langkanya publikasi hasil riset tentang budaya literasi di universitas atau karya ilmiah dari para pustakawan.
Baca juga: Literasi Gizi Rendah, Alasan Utama Kental Manis Masih Dikira Susu
Secara sosiologis, lemahnya budaya literasi selain merupakan masalah personal juga menjadi masalah sosial, sehingga untuk memecahkannya diperlukan rekayasa sosial atau perencanaan sosial supaya terjadi perubahan sosial dengan melakukan aksi-aksi kolektif, community development, social movement, dan kalau perlu melakukan revolusi literasi.
Untuk melakukan perubahan sosial secara massif, bersifat memaksa dan mengikat di masyarakat paling efektif menggunakan pendekatan politik atau kekuasaan.
Negara misalnya dapat membuat regulasi atau legislasi tentang budaya literasi dan pemerintah dengan strategi persuasif melalui berbagai saluran komunikasi atau media dan jalur-jalur resmi kelembagaan pemerintah secara bertahap mengimplementasikan regulasi yang telah dibuatnya.
Melalui pendekatan pedagogi ditekankan untuk mengubah paradigma dan mind-set masyarakat tentang pentingnya literasi bagi peningkatan kualitas hidup.
Kedua, kekurangan dialog ilmiah. Hasil riset di lapangan hanya dapat berkembang apabila ada diseminasi pada masyarakat. Ilmu dihasilkan dari hasil dialog—tesis, antitesis, dan sintesis. Dari dialektika data dan informasi seperti inilah maka lahir ilmu pengetahuan.
Sekarang ini jarang sekali ada dialog yang dilakukan oleh para pakar, malahan yang sering adalah acara seremonial dengan mengundang para pesohor dan pejabat.
Baca juga: Konsumsi Pangan Olahan, Jangan Lupa Baca Labelnya