Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Matinya Gerakan Literasi?

Oleh Suherman

SUDAH hampir tujuh tahun gerakan literasi nasional yang digulirkan oleh pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan.

Sebentar lagi rezim akan berganti, akan tetapi sampai hari ini tidak terdengan bagaimana keberlanjutannya dan hasilnya, malah yang dirasaskan semakin hari gerakan literasi ini terasa semakin sayup-sayup dan redup.

Padahal budaya literasi adalah salah satu fondasi utama untuk menunjang suksesnya program merdeka belajar. Negara yang cukup berhasil melakukan gerakan literasi dalam skala massif adalah China, hanya dalam tempo 15 tahun kita saksikan China telah menjadi salah satu kekuatan dunia.

Apa gerangan yang menyebabkan gerakan literasi di Indonesia layu sebelum berkembang, sehingga gerakan terkesan hanya menjadi gertakan? Menururt penulis ada beberapa hal substasial yang tidak dilakukan dalam gerakan literasi nasional:

Pertama, kemandulan konseptual. Membangun budaya literasi merupakan upaya yang kompleks menyangkut masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial.

Tidak sesederhana seperti pandangan orang banyak yang melihat rendahnya budaya literasi hanya disebabkan oleh kurangnya infrastruktur seperti perpustakaan dan buku. Kemandulan konseptual terjadi karena tidak ditunjang oleh riset yang komprehensif dan mendalam melalui pendekatan multiperspektif atau multidisiplin.

Budaya literasi sangat jarang dijadikan objek penelitian oleh para akademisi atau menjadi program prioritas oleh institusi terkait seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hal ini bisa dilihat dari langkanya publikasi hasil riset tentang budaya literasi di universitas atau karya ilmiah dari para pustakawan.

Secara sosiologis, lemahnya budaya literasi selain merupakan masalah personal juga menjadi masalah sosial, sehingga untuk memecahkannya diperlukan rekayasa sosial atau perencanaan sosial supaya terjadi perubahan sosial dengan melakukan aksi-aksi kolektif, community development, social movement, dan kalau perlu melakukan revolusi literasi.

Untuk melakukan perubahan sosial secara massif, bersifat memaksa dan mengikat di masyarakat paling efektif menggunakan pendekatan politik atau kekuasaan.

Negara misalnya dapat membuat regulasi atau legislasi tentang budaya literasi dan pemerintah dengan strategi persuasif melalui berbagai saluran komunikasi atau media dan jalur-jalur resmi kelembagaan pemerintah secara bertahap mengimplementasikan regulasi yang telah dibuatnya.

Melalui pendekatan pedagogi ditekankan untuk mengubah paradigma dan mind-set masyarakat tentang pentingnya literasi bagi peningkatan kualitas hidup.

Kedua, kekurangan dialog ilmiah. Hasil riset di lapangan hanya dapat berkembang apabila ada diseminasi pada masyarakat. Ilmu dihasilkan dari hasil dialog—tesis, antitesis, dan sintesis. Dari dialektika data dan informasi seperti inilah maka lahir ilmu pengetahuan.

Sekarang ini jarang sekali ada dialog yang dilakukan oleh para pakar, malahan yang sering adalah acara seremonial dengan mengundang para pesohor dan pejabat.

Ketiga, ideologisasi. Yang saya maksud dengan ideologisasi adalah upaya mengubah cara pandang, paradigma, atau mind-set masyarakat, terutama para fasilitator dan aktivis, supaya membaca dijadikan sebuah keyakinan atau kepercayaan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup.

Membaca dipandang sebagai jalan kenabian atau sebuah titah suci dari Tuhan sebagai cara untuk mengelola dunia. Membaca dijadikan sebuah kegiatan yang memiliki nilai suci yang harus diperjuangkan dan disebarkan secara sadar dan totalitas.

Di sisi lain, negara berperan untuk mengemukakan serangkain ajaran, nilai, dan doktrin yang bertujuan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan pembangunan budaya literasi. Hal itu dilakukan supaya membaca dapat menjadi karakter bangsa.

Insentif memang perlu sebagai darah gerakan, akan tetapi idealisme adalah roh dari gerakan itu. Saya percaya tidak semua orang telah terseret oleh arus pragmatisme, akan tetapi masih banyak orang yang bekerja demi idelaisme.

Soekarno pernah berkata, “beri aku sepuluh orang pemuda maka akan aku guncangkan dunia.”

Keempat, debirokratisasi. Gerakan literasi berjalan dengan lamban karena melalui jalur birokrasi yang panjang dan berbelit. Seharusnya yang namanya gerakan jangan disamakan dengan melaksanakan program-program rutin kedinasan.

Harus ada jalur khusus seperti penangan wabah atau bencana, karena memang lemahnya budaya literasi juga merupakan bencana. Fasilitator atau aktivis adalah para pegiat yang tidak merangkap sebagai guru apalagi pejabat struktural karena mereka sangat sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan administratif yang sangat banyak yang melekat pada jabatannya.

Lebih baik merekrut para aktivis yang merdeka dari pada para doktor atau profesor yang terbelenggu oleh birokrasi.

Kelima, tidak fokus. Gerakan literasi sebaiknya fokus pada literasi sains sebagaimana telah dilakukan oleh China, Jepang, dan negara maju lainnya. Tujuan utama literasi sains adalah untuk membangun sikap atau karakter ilmiah (scientific attitude).

Masyarakat terbiasa berpikir rasional, mengambil keputusan secara objektif yang didasarkan kepada fakta dan data, serta mampu untuk belajar secara mandiri. (tentang “Urgensi Literasi Iptek” silahkan baca tulisan saya di Kompas.com 04/08/2020).

Keenam, jejaring. Kemendikbud dan Perpusnas kurang bisa menggandeng mitra-mitra strategis, Banyak lembag-lembaga starategis yang tidak dilibatkan padahal mereka memiliki agenda yang sama akan tetapi dengan nomenklatur yang berbeda.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang sekarang dilanjutkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sudah puluhan tahun melakukan pembangunan budaya literasi sains dengan program Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR), National Young Inventors Award (NYIA), dan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) yang sangat antusias diikuti oleh para pelajar.

Gerakan literasi Iptek yang dilakukan oleh BRIN jelas lebih terarah dan terukur dampaknya.

Jaringan untuk sosialisasi secara kelembagaan sudah dilakukan oleh wadah yang namanya Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) dan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang strukturnya dari tingkat nasional, provinsi, dan daerah kabupaten/kota, akan tetapi kedua wadah ini juga masih ego-sektoral atau berjalan sendiri-sendiri.

Ketujuh, pendekatan kurang sinergis. Membangun budaya literasi dalam sebuah negara tidak terlepas dari dua macam pendekatan utama yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural.

Pendekatan struktural atau pendekatan melalui kekuasaan dititikberatkan kepada peran negara dalam upaya menumbuhkan budaya literasi masyarakat. Banyak sekali legislasi yang sudah dibuat dilanggar secara massif oleh para eksekutif tanpa ada sanksi apa pun, sehingga terkesan undang-undang atau pertauran hanya semacam macan kertas yang tidak ada gunanya.

Sejatinya, di ranah kultural bagaimana hasil kerja pemerintah, berupa suprastruktur dan infrastruktur, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membangun budaya literasi dengan membangun sinergitas dan kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Sayangnya triple helix semacam itu belum terbangun.

Tujuh persoalan fundamental di atas harus segera diperbaiki supaya gerakan literasi tidak mati. Buku-buku pedoman dan panduan yang ada sudah cukup bagus, akan tetapi itu semua hanya akan menjadi dokumen mati bila dipegang oleh inisiator, fasilitator, dan para pegiat yang tidak memiliki spirit dan idealisme.

“Tragedi ilmu terjadi,” kata Alexis Carrel, “manakala teori yang indah dibunuh oleh realitas.” Mari kita selamatkan gerakan literasi!

Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/01/01/160000423/matinya-gerakan-literasi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke