KOMPAS.com - Indonesia diprediksi akan menjadi negara terakhir di dunia yang keluar dari krisis pandemi Covid-19 jika tidak ada kebijakan strategis yang luar biasa pada pemulihan kesehatan, kata seorang pakar.
Pasalnya hampir satu setengah tahun pandemi berjalan, kebijakan yang diambil pemerintah lebih dipengaruhi oleh kompromi politik dan ekonomi ketimbang kesehatan.
Kondisi seperti ini, kata pengamat kebijakan publik, dikhawatirkan akan menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah dan bisa memicu aksi protes.
Tapi pemerintah menampik anggapan itu dan menjanjikan penambahan anggaran APBN untuk kesehatan pada tahun depan.
Baca juga: Banyak Hoaks Berkedok Sains Selama Pandemi, Pola Pikir Kritis Bisa Mencegahnya
Sepanjang pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu setengah tahun ini, pemerintah Indonesia setidaknya telah menelurkan lima kebijakan.
Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret 2020, kemudian Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai Januari 2021.
Tak berselang lama pemerintah memberlakukan PPKM Mikro di seluruh provinsi yang mengatur hingga tingkat RT/RW. Setelah itu mengganti dengan PPKM Darurat pada awal Juli 2021 di provinsi Jawa-Bali lantaran melonjaknya kasus infeksi setelah Lebaran.
Setelah habisnya jangka waktu penerapan PPKM Darurat, pemerintah memperpanjang dengan membuat aturan baru yakni PPKM level 1 hingga 4 sampai 2 Agustus mendatang.
Epidemilog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai seluruh kebijakan pandemi Indonesia banyak dipengaruhi oleh kompromi politik dan ekonomi ketimbang kesehatan.
Ia mencontohkan, pemerintah ngotot menggelar pilkada serentak pada Desember 2020 meski banyak penolakan dari pakar kesehatan. Tapi di sisi lain, selalu lemah dalam pelaksanaan 3T (pengetesan, pelacakan, perawatan).
Pengamatannya hingga saat ini Indonesia masih berkutat pada rasio 1 banding 1 dalam melakukan pelacakan kontak erat Covid-19, jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 banding 30.