Oleh Abdul Ghoffar Husnan
MUNGKIN pernah di antara kita muncul perasaan dalam hati kalau pendapat kita lah yang benar. Sementara pendapat orang lain adalah salah.
Perasaan seperti itu, bisa saja muncul saat kita melakukan rapat di kantor, saat mendengar pendapat pimpinan di tempat kerja, saat ngobrol santai di warung kopi, atau bisa jadi saat berdiskusi dengan keluarga di rumah.
Dalam kitab Al Hikam, Syekh Ibnu Atha'illah menyatakan bahwa perasaan seperti itu, kalau terus dipertahankan akan menjadi sumber dari segala sumber kemaksiatan.
Menurutnya, “Ashlu kulli ma’shiyatin wa ghaflatin wa syahwatin al-rida ‘an al-nafs (sumber segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah meridhoi nafsu). Wa ashlu kulli tha’atin wa yaqadzatin wa ‘iffatin ‘adam al-ridla minka ‘anha." (dan, sumber segala ketaatan, kewaspadaan, dan kebajikan adalah tidak meridhoi nafsu).
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Umur Manusia dan Lailatul Qadar
Al-rida ‘an al-nafs, ridho terhadap nafsu, ridho terhadap dirinya sendiri, adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Apabila kita menuruti nafsu, menurut kepentingan diri kita, lalu mengupayakan dengan sungguh-sungguh, dengan cara apapun apa yang sudah kita inginkan, maka bisa jadi untuk mendapatkan hal itu akan ada orang lain yang menjadi korban.
Menurut KH Sholeh Darat, mahaguru para ulama besar Nusantara (1820-1903 M), dalam Kitab Syarah Al-Hikam, ada tujuh sifat nafsu. Salah satunya adalah nafsu amarah, yaitu nafsu yang cenderung pada tabiat jasmani, cenderung pada kenikmatan sementara.
Nafsu yang terkait dengan kenikmatan dhohir jasmani, seperti ingin berkuasa, kaya, dan kesenangan dunia lainnya. Nafsu jenis ini sangat menggoda dan banyak manusia berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Dalam pandangan Kyai Sholeh Darat, nafsu amarah ini memiliki tujuh kepala setan, yaitu syahwat, ghadab (benci dan marah-marah), takabbur (dirinya merasa lebih baik dari orang lain), dengki, sombong (baik menyombongkan badan jasmani atau rohaninya seperti ilmu, sombong lisannya karena lebih banyak berdzikir dan pujian-pujian kepada Allah, dan lain-lain), rakus , dan riya.
Ketujuh bumbu nafsu amarah tersebut sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Nafsu ini tidak serta merta hilang, meski berada di dalam bulan suci Ramadhan.
Misalnya, tergelincir akibat bujuk rayu nafsu hingga sampai melakukan pembunuhan karena tak bayar utang, atau karena cemburu, atau karena hal sepele lainnya, kerap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan pada minggu awal puasa kemarin, sempat viral peristiwa dugaan pembunuhan sopir taksi oleh empat perempuan. Peristiwa tersebut terjadi di Bandung hanya gara-gara tidak punya ongkos untuk membayar taksi online sebesar Rp 1,7 juta untuk perjalanan dari Jonggol (Bogor) ke Pangalengan (Bandung).
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Kebaikan Semesta Menjemput Lailatul Qadar
Tahapan sampai membunuh sopir tersebut, jelas dilakukan karena keempat wanita tersebut menuruti hawa nafsunya.
Sementara jika mereka tidak menuruti hawa nafsunya, dan mengikuti hati nuraninya, maka akan tergambar betapa tidak sebandingnya akibat antara tidak membayar taksi dengan membunuh.
Tidak bisa membayar, barangkali bisa dicicil pelan-pelan. Tetapi dengan membunuh, kalau terbukti di pengadilan nantinya, dari sudut pandang hukum negara, mereka bisa dipenjara maksimal 20 tahun kurungan.