Oleh Abdul Ghoffar Husnan*
ENTAH sudah berapa kali kita bertemu dan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Secara dhohir, orang Islam yang usianya lebih tua, tentu telah berpuasa dan bertemu dengan bulan Ramadhan lebih banyak ketimbang anak muda yang masih unyu-unyu.
Namun, dalam kenyataannya, banyaknya berpuasa dan bertemu bulan Ramadhan antara orang yang tua dan muda, tidak menyebabkan orang tua lebih bertakwa daripada anak muda. Semua bergantung pada indiviudu masing-masing. Mengapa?
Puasa Ramadhan ibarat senjata super canggih yang dengan senjata itu, seorang hamba dengan cepat bisa mengalahkan semua musuhnya. Dengan cepat bisa membunuh setan-setan yang dilaknat.
Dengan cepat pula ia bisa meningkatkan ketakwaannya. Namun demikian, rupanya memiliki senjata saja tidak cukup.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Akhlak Terpuji sebagai Jati Diri
Meski hamba itu memiliki senjata yang super canggih, tetap saja ia harus memenuhi syarat kualifikasi untuk bisa menggunakannya. Lalu apa syaratnya?
Syaratnya adalah ia bisa mengetahui cara menggunakan senjata tersebut dengan baik dan benar. Sehebat apapun senjata, kalau dia tidak bisa menggunakannya, maka yang terjadi bukan saja tidak membunuh musuh, malah justru sebaliknya, bisa membunuh dirinyaa sendiri.
Lalu bagaimana cara menggunakan “senjata puasa Ramadhan” untuk meningkatkan ketakwaan kita? Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan ada enam hal yang harus diperhatikan agar ibadah puasa mampu menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang shaleh, hamba-hamba yang mencegah segala anggota badan dari dosa.
Sebelum menyampaikan enam hal tersebut, Imam Ghazali menyampaikan bahwa puasa itu ada tiga tingkatan, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang khusus.
Kategori puasa umum hanya terkait dengan urusan mencegah memenuhi keinginan perut dan kemaluan pada siang hari.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Ramadhan Bulan Toleransi, Bulan Berbagi Tanpa Pandang Bulu
Sementara puasa khusus dari yang khusus, yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya dari selain Allah secara keseluruhan. Puasa ini tingkatan untuk para nabi-nabi, orang-orang shiddiq, dan orang-orang muqorrobin.
Sementara terkait dengan enam cara yang yang disampaikan oleh Imam Ghazali masuk pada kriteria puasa khusus yaitu puasa yang bukan hanya semata terkait dengan urusan perut dan kemaluan, tetapi lebih dari itu, yaitu mencegah pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari dosa.
Lalu apa enam hal tersebut?
Pertama, menahan pandangan mata dan tidak mengumbarnya.
Menurut Imam Ghazali, syarat pertama adalah hamba tersebut harus memicingkan mata, dan tidak mengumbar pandangan mata pada tiap-tiap yang dicela dan dimakruhkan, juga pada tiap-tiap yang membimbangkan dan melalikan hati dari mengingat Allah SWT.