Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Giant Sea Wall" Bisa Sulap Pantai Utara Jakarta Jadi Comberan Raksasa

Kompas.com - 12/01/2024, 17:00 WIB
Aisyah Sekar Ayu Maharani,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pembangunan giant sea wall atau tanggul laut raksasa dikhawatirkan bisa memperparah land subsidence atau penurunan muka tanah di Jakarta.

Hal ini disampaikan oleh Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia Marthin Hadiwinata dalam diskusi Dampak Giant Sea Wall (GSW) Terhadap Kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa, dalam jaringan (daring), Jumat (12/1/2024).

Menurutnya, terdapat sedimen-sedimen lunak di Teluk Jakarta yang akan bereaksi jika giant sea wall dibangun.

"Ada sedimen-sedimen lunak di Teluk Jakarta yang ketika akan dibangun tanggul laut beserta dengan reklamasi yang ada di atasnya, itu juga pasti akan terjadi land subsidence," ucapnya.

Dengan adanya pembangunan giant sea wall tanpa dibarengi solusi penurunan muka tanah, maka penurunan muka tanah di pulau-pulau reklamasi hanya tinggal menunggu waktu. Terlebih bila bangunan di pulau reklamasi tidak dikontrol dengan baik.

Selain itu, pembangunan giant sea wall juga berpotensi membuat perairan di dalam tanggul menjadi tercemar berat karena masih adanya pencemaran di 13 sungai Jakarta.

"Ada kandungan-kandungan logam berat yang sudah melebihi standar baku mutu di Teluk Jakarta," lanjut Marthin.

Terdapat data sampai tahun 2004 yang menunjukkan temuan logam berat, seperti timbal, tembaga, dan zinc di Teluk Jakarta. Logam berat tersebut menyebabkan ledakan alga, sehingga kadar oksigen di Teluk Jakarta menurun.

Baca juga: Proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak Dianggap Memperparah Penurunan Muka Tanah Pantura Jateng

Akibatnya, akan terjadi kematian massal biota laut di Jakarta karena pola arus yang rusak akibat reklamasi dan pembangunan giant sea wall.

"Bayangkan ketika itu ditutup sebagai tanggung laut raksasa, istilah yang muncul dari para pakar itu menjadi comberan raksasa," tutur Marthin.

Pada kesempatan yang sama, Pendiri dan Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan, proyek tanggul laut yang sejatinya telah mencuat dengan berbagai nama dan skema tersebut sama sekali tidak mencantumkan bagaimana cara menangani masalah penurunan muka air tanah.

"Ada berbagai macam skema dari era Fauzi Bowo, dari Menteri PUPR-nya Djoko Kirmanto sampai Pak Basuki, Presidennya dari SBY sampai Presidennya sudah mau ganti lagi, itu namanya ganti-ganti. Entah itu JCDS, NCICD, updated NCICD, atau Great Garuda lalu diterjemahkan Bahasa Indonesia jadi PTPIN, IFSP, dan segala macam," jelas Elisa.

Malah, yang selalu dibicarakan dalam proyek tanggul laut adalah berapa biaya proyeknya, di mana akan meletakkan pompa air, bagaimana skema pembiayaan reklamasi, bagaimana membuat jalan tol, dan lainnya.

"Tapi tidak ada berbicara soal gimana menghentikan penurunan muka air tanah," tegas Elisa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com