Penulis: Tonggie Siregar/DW Indonesia
LINDAU, KOMPAS.com - Dengan penuh percaya diri, Antonia Morita Iswari Saktiawati naik ke podium Next Gen Science Sessions di Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 di Lindau, Jerman.
Ia lalu mempresentasikan hasil risetnya. Dari sekitar 600 peserta, hanya 45 peneliti yang dipilih tampil di panggung ini, dan Morita menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.
Di hadapan para ilmuwan dari berbagai negara, peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menjelaskan mengenai electronic nose, atau yang ia sebut e-Nose, inovasi yang awalnya dikembangkan untuk mendeteksi Tuberkulosis (TBC).
Baca juga: Peneliti China Temukan Cara Menambah Umur Hingga 82 Persen
Berikut perbincangan Antonia Morita dengan DW Indonesia di Lindau, Jerman, terkait apa yang membuat pengembangan e-Nose tidak hanya penting untuk Indonesia, tapi juga negara lain di dunia.
DW Indonesia: Bagaimana hingga akhirnya Anda terpilih menjadi salah satu pembicara di Next Gen Science. Mengapa inovasi Anda dinggap penting untuk disampaikan di forum internasional?
Antonia Morita: Sebenarnya kami sebagai peneliti muda disuruh untuk mengajukan abstrak (penelitian). Studi saya tentang inovasi alat diagnostik dalam penyakit infeksi. Ini sesuatu yang inovatif, jadi ada nilai kebaruannya.
Saya rasa karena sekarang 'kan sedang zamannya teknologi, dan salah satu topik dalam Nobel Laureate ini 'kan adalah AI, perkembangan artificial intelligence. Jadi mungkin dianggap cocok menjawab permasalahan yang ada.
Electronic Nose ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit lewat aroma tubuh atau napas.
Untuk menggunakannya, seseorang perlu bernapas ke dalam kantong yang menampung udara yang terkoneksi ke alat e-Nose. Data ini lalu terkoneksi ke laptop. Kecerdasan buatan di laptop akan menganalisis data dan memberi tahu kita apakah seseorang sakit atau tidak.
Jadi kalau kita mau mendiagnosis atau men-screening penyakit, biasanya alatnya besar. Padahal di Indonesia banyak sekali orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Untuk ke pusat kesehatan masyarakat saja harus jalan jauh, padahal mereka dalam kondisi sakit.
Jadinya sering tidak mampu datang, akhirnya tidak terdiagnosis, tidak dapat terapi, dan meninggal. Pertama, permasalahan jarak.
Kedua, alat-alat untuk mendiagnosis itu biasanya harganya tidak murah. Misalnya untuk TB, kultur (alat pemeriksaan dahak mikroskopis) itu mahal sekali.
Jadi tetap tidak menguntungkan, karena harus pakai mikroskop, harus ada petugas kesehatan khusus yang meneliti. Jadi kita tidak bisa melakukannya sendiri.
Ketiga adalah masalah efek samping. Salah satu alat diagnosis TB adalah menggunakan foto Rontgen, di mana efek sampingnya adalah paparan radiasi, sehingga tidak aman.