Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sambutan Hangat Saudi ke Suriah Kirimkan Sinyal Kuat ke AS: Kami Bisa Tanpa Anda

Kompas.com - 24/05/2023, 15:15 WIB
Tito Hilmawan Reditya

Penulis

Sumber Reuters

RIYADH, KOMPAS.com - Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menjadi pusat perhatian ketika tampil sebagai pembawa acara pekan lalu.

Saat itu, negara-negara Arab menerima kembali Suriah ke Liga Arab, memberi isyarat kepada AS yang menyerukan sikap berbeda pada Suriah.

Sambutannya yang berlebihan kepada Presiden Bashar al-Assad di KTT Arab dengan ciuman di pipi dan pelukan hangat menentang ketidaksetujuan AS atas kembalinya Suriah.

Baca juga: Momen Presiden Suriah Dipeluk Putra Mahkota Saudi, Akhiri Permusuhan Bertahun-tahun

Seperti dikutip dari Reuters, sikap putra mahkota juga seolah mengakhiri perputaran kekayaan sang pangeran yang didorong oleh realitas geopolitik.

Sang pangeran, yang dikenal sebagai MBS, berusaha untuk menegaskan kembali Arab Saudi sebagai kekuatan regional.

Dia menggunakan posisinya di atas raksasa energi di dunia yang bergantung pada minyak Rusia, yang berada di pusaran konflik dengan Ukraina.

Dijauhi oleh negara-negara Barat setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada tahun 2018 oleh regu pembunuh Saudi, sang pangeran kini telah muncul sebagai pemain yang tidak dapat diabaikan atau disangkal oleh AS.

Meski begitu, sikap MBS sepertinya harus ditangani secara transaksional.

Skeptis terhadap janji AS tentang keamanan Saudi dan lelah dengan nada omelannya, MBS malah membangun hubungan dengan kekuatan global lainnya.

Terlepas dari kekhawatiran AS, Saudi terus memperbaiki hubungannya dengan musuh bersama mereka.

Baca juga: [KABAR DUNIA SEPEKAN] Arab Saudi Lebaran Jumat | WNI 40 Tahun Dipenjara di Malaysia

Keyakinannya yang membara di panggung dunia tidak hanya terlihat dalam penerimaannya terhadap Assad.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang sempat datang ke pertemuan Jeddah pun disambut MBS, yang menawarkan untuk menengahi konflik.

Yang pasti Arab Saudi masih bergantung secara militer pada Amerika Serikat, yang menyelamatkannya dari kemungkinan invasi Saddam Hussein pada tahun 1990.

AS masih memantau aktivitas militer Iran di Teluk dan memberi Riyadh sebagian besar senjatanya.

Baca juga: Arab Saudi Akan Renovasi Masjid Berusia Hampir 1.000 Tahun di Madinah Ini

Namun, dengan Washington yang tampaknya kurang terlibat di Timur Tengah dan kurang menerima kecemasan Riyadh, MBS mengejar kebijakan regionalnya sendiri dengan kurang menghormati pandangan AS, sekutunya yang paling kuat.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com