Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Jalan Keluar dari Pretorianisme di Myanmar

Kompas.com - 17/07/2022, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KRISIS yang terjadi di Myanmar saat ini seperti mengingatkan kembali masyarakat Indonesia pada periode tahun 1965-1998. Pada periode itu, tatanan politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh rezim militer, yaitu ketika Presiden Soeharto berkuasa.

Dilantiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden ke-2 Indonesia seperti menegaskan eksistensi militer dalam kancah perpolitikan negeri ini, walaupun perannya sudah dimulai sejak diaplikasikannya konsep dwifungsi ABRI. Meskipun momentum 1965 menjadi titik balik kebangkitan ekonomi pasca krisis dan penyelesaian gerakan pemberontakan berdarah di Indonesia, hal positif ini tidaklah berlangsung lama. Soeharto menjalankan pemerintahannya secara otoriter.

Reformasi struktural untuk menggeser dominasi militer dari proses politik pada tahun 1998 mengembalikan peran dan jati diri Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada habitatnya yang semula.

Baca juga: Menlu AS Kritik ASEAN karena Kurang Tegas Tanggapi Masalah Myanmar

Kondisi Myanmar, yang saat ini berada di bawah pemerintahan Tatmadaw (nama resmi angkatan bersenjata di negara itu), seperti belum menemukan momentum yang tepat layaknya Indonesia pada 1998. Rezim militer Myanmar yang saat ini berada di tangan Jenderal Min Aung Hlaing, telah menempatkan angkatan bersenjata dalam posisi yang superior.

Rezim otoriter tersebut seakan mendapatkan legitimasi karena tidak tegasnya hukum internasional dan lemahnya penegakan hak asasi manusia di tingkat regional ASEAN.

Alih-alih menempatkan Myanmar pada pemulihan ekonomi dan stabilitas politik layaknya Indonesia pasca 1965, intervensi militer dalam ranah pemerintahan justru memperkeruh situasi. Pasca kudeta, pembungkaman demonstrasi dengan cara-cara kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa, ditahannya Aung San Syu Kyi dan sejumlah pelaku politik pro-demokrasi, sanksi dari negara-negara Barat, serta merebaknya pandemi Covid-19 membuat ekonomi Myanmar kian terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Myanmar mengalami penurunan sebesar 18 persen tahun lalu, kurang lebih satu tahun pasca kudeta. Ekonomi negara itu diperkirakan tidak akan kembali tumbuh tahun ini.

Tidak kurang dari 700 ribu penduduk Myanmar mengungsi karena kekerasan dan konflik bersenjata yang tidak kunjung mereda.

Pretorianisme

Apa yang kini dialami Myanmar merupakan fenomena yang lebih dikenal dengan sebutan pretorianisme (praetorianism). Pretorianisme, yang secara harafiah berarti “pengawal khusus raja”, merupakan istilah bagi berbagai aksi intervensi yang berorientasi pada politik domestik yang dilakukan organisasi angkatan bersenjata suatu negara. “Raja” dalam istilah ini sama dengan negara.

Pretorianisme dapat terjadi karena lemahnya kepemimpinan politik sipil dan adanya potensi peran militer untuk dominan dalam pemerintahan. Pretorianisme di era modern berkembang setelah selesainya perang dunia, saat organisasi militer suatu negara yang tidak lagi berjibaku dengan peperangan, pertahanan, maupun ekspansi. Militer lalu cenderung untuk memengaruhi proses politik domestiknya.

Kadang-kadang, dukungan dari masyarakat serta pihak tertentu juga turut melegitimasi masuknya kelompok militer dalam ranah non-keamanan, karena dianggap merupakan satu-satunya kalangan yang dapat menyelamatkan serta “mengawal” stabilitas dan kedaulatan suatu negara.

Baca juga: Kudeta Militer Myanmar: Siapa yang Memenangkan Perang Saudara?

Pada kenyataanya, pretorianisme di Myanmar justru tidak mengembalikan negara itu ke kondisi yang lebih baik.  Pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah cara agar Myanmar bisa keluar dari cengkraman pretorianisme?

Bisa belajar dari Indonesia

Myanmar harus lebih banyak belajar dari pengalaman negara tetangganya. Indonesia misalnya, ketidakstabilan kondisi politik dan hiperinflasi yang terjadi tahun 1963-1965 membuat banyak kalangan meragukan kepemimpinan Presiden Soekarno waktu itu. Berhasilnya penumpasan G30S dan terungkapnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang utama dari pemberontakan membuat kalangan militer mendapat kepercayaan lebih dari rakyat Indonesia.

Alhasil, dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, ditambah dengan keluarnya Ketetapan MPRS pada Maret 1967 yang memakzulkan kepemimpinan Soekarno, Jenderal Soeharto kemudian mengambilalih pemerintahan dan memulai era Orde Baru selama 32 tahun lamanya.

Setelah 32 tahun, krisis ekonomi tahun 1998 merupakan titik balik bagi demokratisasi dan bersatunya seluruh golongan dari berbagai kelas di Indonesia. Bangkitnya berbagai figur kepemimpinan dari kalangan sipil juga turut mendorong terjadinya reformasi, menumbangkan Soeharto dari jabatan presiden, dan dilakukannya amandemen undang-undang dasar.

Hal ini membuat TNI yang kala itu memiliki fraksi tersendiri di DPR, harus kembali ke tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, serta menandakan berakhirnya praktik pretorianisme yang telah lama terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com