Dilantiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden ke-2 Indonesia seperti menegaskan eksistensi militer dalam kancah perpolitikan negeri ini, walaupun perannya sudah dimulai sejak diaplikasikannya konsep dwifungsi ABRI. Meskipun momentum 1965 menjadi titik balik kebangkitan ekonomi pasca krisis dan penyelesaian gerakan pemberontakan berdarah di Indonesia, hal positif ini tidaklah berlangsung lama. Soeharto menjalankan pemerintahannya secara otoriter.
Reformasi struktural untuk menggeser dominasi militer dari proses politik pada tahun 1998 mengembalikan peran dan jati diri Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada habitatnya yang semula.
Kondisi Myanmar, yang saat ini berada di bawah pemerintahan Tatmadaw (nama resmi angkatan bersenjata di negara itu), seperti belum menemukan momentum yang tepat layaknya Indonesia pada 1998. Rezim militer Myanmar yang saat ini berada di tangan Jenderal Min Aung Hlaing, telah menempatkan angkatan bersenjata dalam posisi yang superior.
Rezim otoriter tersebut seakan mendapatkan legitimasi karena tidak tegasnya hukum internasional dan lemahnya penegakan hak asasi manusia di tingkat regional ASEAN.
Alih-alih menempatkan Myanmar pada pemulihan ekonomi dan stabilitas politik layaknya Indonesia pasca 1965, intervensi militer dalam ranah pemerintahan justru memperkeruh situasi. Pasca kudeta, pembungkaman demonstrasi dengan cara-cara kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa, ditahannya Aung San Syu Kyi dan sejumlah pelaku politik pro-demokrasi, sanksi dari negara-negara Barat, serta merebaknya pandemi Covid-19 membuat ekonomi Myanmar kian terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Myanmar mengalami penurunan sebesar 18 persen tahun lalu, kurang lebih satu tahun pasca kudeta. Ekonomi negara itu diperkirakan tidak akan kembali tumbuh tahun ini.
Tidak kurang dari 700 ribu penduduk Myanmar mengungsi karena kekerasan dan konflik bersenjata yang tidak kunjung mereda.
Pretorianisme
Apa yang kini dialami Myanmar merupakan fenomena yang lebih dikenal dengan sebutan pretorianisme (praetorianism). Pretorianisme, yang secara harafiah berarti “pengawal khusus raja”, merupakan istilah bagi berbagai aksi intervensi yang berorientasi pada politik domestik yang dilakukan organisasi angkatan bersenjata suatu negara. “Raja” dalam istilah ini sama dengan negara.
Pretorianisme dapat terjadi karena lemahnya kepemimpinan politik sipil dan adanya potensi peran militer untuk dominan dalam pemerintahan. Pretorianisme di era modern berkembang setelah selesainya perang dunia, saat organisasi militer suatu negara yang tidak lagi berjibaku dengan peperangan, pertahanan, maupun ekspansi. Militer lalu cenderung untuk memengaruhi proses politik domestiknya.
Kadang-kadang, dukungan dari masyarakat serta pihak tertentu juga turut melegitimasi masuknya kelompok militer dalam ranah non-keamanan, karena dianggap merupakan satu-satunya kalangan yang dapat menyelamatkan serta “mengawal” stabilitas dan kedaulatan suatu negara.
Pada kenyataanya, pretorianisme di Myanmar justru tidak mengembalikan negara itu ke kondisi yang lebih baik. Pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah cara agar Myanmar bisa keluar dari cengkraman pretorianisme?
Bisa belajar dari Indonesia
Myanmar harus lebih banyak belajar dari pengalaman negara tetangganya. Indonesia misalnya, ketidakstabilan kondisi politik dan hiperinflasi yang terjadi tahun 1963-1965 membuat banyak kalangan meragukan kepemimpinan Presiden Soekarno waktu itu. Berhasilnya penumpasan G30S dan terungkapnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang utama dari pemberontakan membuat kalangan militer mendapat kepercayaan lebih dari rakyat Indonesia.
Alhasil, dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, ditambah dengan keluarnya Ketetapan MPRS pada Maret 1967 yang memakzulkan kepemimpinan Soekarno, Jenderal Soeharto kemudian mengambilalih pemerintahan dan memulai era Orde Baru selama 32 tahun lamanya.
Setelah 32 tahun, krisis ekonomi tahun 1998 merupakan titik balik bagi demokratisasi dan bersatunya seluruh golongan dari berbagai kelas di Indonesia. Bangkitnya berbagai figur kepemimpinan dari kalangan sipil juga turut mendorong terjadinya reformasi, menumbangkan Soeharto dari jabatan presiden, dan dilakukannya amandemen undang-undang dasar.
Hal ini membuat TNI yang kala itu memiliki fraksi tersendiri di DPR, harus kembali ke tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, serta menandakan berakhirnya praktik pretorianisme yang telah lama terjadi.
Di Thailand, intervensi militer juga seringkali terjadi. Negara yang sama sekali belum pernah mengalami kolonialisasi itu tercatat mengalami 19 kali kudeta militer. Sebanyak 11 di antaranya berhasil. Militer Thailand seringkali memposisikan dirinya sebagai agen penyelamat yang akan mengembalikan pemerintahan ke jalur demokrasi, serta menganggap kepemimpinan sipil di Thailand sarat dengan praktik korupsi.
Kudeta yang sukses terjadi tahun 2006 dan 2014 turut meningkatkan keterlibatan militer dalam jumlah kursi di parlemen Thailand. Jika dibandingkan dengan Indonesia, militer Thailand justru mendapatkan legitimasi yang kuat dalam politik domestiknya karena ada dukungan raja, yang dulunya juga merupakan bagian dari angkatan bersenjata Thailand, dan bentuk pemerintahannya yang merupakan monarki konstitusional.
Uniknya, publik Thailand tidak terlalu menganggap keterlibatan sipil dalam pemerintahan menjadi hal yang penting. Soalnya, politik dianggap hanya sebuah urusan yang dimiliki oleh kalangan elite saja. Kudeta yang terjadi di Thailand pun juga terjadi tidak karena faktor krisis ekonomi seperti di kebanyakan negara pada umumnya.
Militer dianggap sebagai pengawal utama raja dan demokrasi, meskipun pada kenyataannya justru menghalangi keterlibatan politisi dari kalangan sipil. Hal inilah yang justru membuat praktek pretorianisme menjadi dominan di Thailand hingga saat ini.
Dari kasus Indonesia dan Thailand, perlu digarisbawahi bahwa praktek pretorianisme justru subur di negara yang baik figur dan keterlibatan kalangan sipil dalam politiknya sangat rendah. Faktor ini yang akhirnya menjadi celah bagi militer untuk terlibat dalam politik domestik dengan dalih kedaruratan nasional ataupun penyelamatan stabilitas negara.
Dari fenomena ini dapat disimpulkan bahwa Myanmar harus menemukan momentum yang tepat untuk mengembalikan kembali supremasi sipil dalam pemerintahannya, seperti yang terjadi di Indonesia saat krisis 1998. Myanmar harus bisa mengembalikan figur pemerintahan sipil yang kuat dan dominan, serta membentuk pemerintahan reformatif agar kudeta militer yang menyengsarakan rakyatnya tidak lagi terulang.
Rakyat Myanmar pasti tidak menginginkan terjadinya ramalan sejumlah pengamat yang mengatakan bahwa negara itu akan segera mengalami kebangkrutan seperti Sri Lanka. Namun, bila ramalan tersebut tidak terhindarkan, hal itu tentu bisa menjadi momentum bagi berbagai kalangan sipil Myanmar dan dunia internasional untuk bersatu dan mengembalikan demokrasi di negara tersebut. Seperti pengalaman negara-negara lain, krisis dapat menjadi batu loncatan bagi sebuah negara untuk mereformasi pemerintahannya.
https://www.kompas.com/global/read/2022/07/17/070518370/jalan-keluar-dari-pretorianisme-di-myanmar