“According @googlemaps there is a "traffic jam" at 3:15 in the morning on the road from Belgorod, Russia to the Ukrainian border.” Begitu Profesor Dr Jeffrey Lewis, ahli nonproliferasi dan kontrol senjata, merilis jejak awal gerakan militer Rusia ke Ukraina melalui Twitter, Kamis, 24 Februari 2022.
Lewis asal Middlebury Institute of International Studies (MIIS) di Monterey, California, Amerika Serikat (AS), menulis, “It starts *exactly* where we saw a Russian formation of armor and IFV/APCs show up yesterday. Someone's on the move.”
Profesor Lewis dan tim peneliti MIIS memantau data Google Maps Belgorod, 25 mil (40,2 km) di utara perbatasan Ukraina-Rusia di Rusia, melalui data anonim pengguna sistem-operasi Android (A Paleja, 2022). Lewis merilis data detik-detik awal gerakan militer Rusia 3 jam sebelum Presiden Rusia, Vladimir Putin, merilis ‘operasi militer khusus’ Rusia ke Ukraina (Sharma, 25/4/2022; Lerman, The Washington Post, 25/2/2022).
Baca juga: Taipan Rusia Kecam Pembantaian di Ukraina: 90 Persen Orang Rusia Menentang Invasi
Google, Twitter, dan Facebook kini menjadi sistem senjata dalam “perang” melalui big data (collective intelligence). Kita lihat, misalnya tahun 2017, Google dan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) bekerjasama dalam Project Maven piranti lunak drone guna meningkatkan akurasi serangan drone (Ron, 2018).
Dalam perang di Ukraina, gambar-gambar satelit Google Maps, tulis Patricia McKnight (2022), menunjukkan posisi pasukan-pasukan Rusia. Senin (18/4/2022), foto satelit Google Maps menunjukkan pusat-pusat komando, pesawat tempur, kapal tempur, dan basis militer Rusia.
Maka Roskomnadzor, regulator internet Rusia, mengajukan gugatan-hukum tehadap Google ke pengadilan Rusia dengan tuduhan penyebaran informasi sesat tentang “operasi militer khusus’ Rusia di negara Ukraina (Qureshi, 2022).
Google LLC, perusahan teknologi multinasional asal AS, mengelola artificial intelligence (AI), mesin-lacak, iklan online, piranti komputer, e-commerce, cloud computing, dan quantum computing (Rich, 2016). Awal Maret 2022, Netflix, ikut Google, Apple, dan perusahan global lain memutus hubungan bisnis ke zona Rusia. Google Eropa blok kanal-kanal YouTube media Rusia, RT dan Sputnik, di seluruh zona Eropa, akibat operasi khusus militer Rusia di Ukraina. Kanal YouTube RT memiliki pengguna/konsumen sekitar 4,5 juta (RFE/RL, 1/3/2022).
Jadi, digitalisasi ekonomi global tidak otomatis melahirkan kerja sama ekonomi, stabilitas politik, dan integrasi kawasan.
Apa yang kita hadapi saat ini akibat perang di Ukraina, tulis Adam S Posen pada jurnal Foreign Policy edisi 17 Maret 2022: ‘The End of Globalization?’ atau seakan berakhir globalisasi. Pekan awal perang di Ukraina, ekonomi Rusia terperangkap dalam sanksi ekonomi dari banyak negara. Hingga 19 April 2022), sekitar 200.000 tenaga-kerja pada perusahan asing di Moskwa terancam pemutusan hubungan kerja atau PHK (CNN, 19/4/2022).
Awal April 2022, sebanyak 600 perusahan multinasional asal Eropa Barat dan AS, tutup operasi atau keluar dari zona Rusia. Banyak negara membekukan aset-aset pengusaha kaya mitra Presiden Vladimir Putin. Bahkan sejumlah negara melarang penerbangan sejumlah elite asal Rusia ke negara-negara itu.
AS dan sekutunya (NATO) membekukan cadangan aset bank sentral Rusia dan akses ke sistem pembayaran finansial global SWIFT, tulang-punggung transaksi bank-bank dunia.
Namun, Maret 2022, tulis Jeane Whalen di The Washington Post, nilai tukar rubel (Rusia) terhadap dollar AS dan bank-bank, mulai pulih di Rusia. Perang di Ukraina membentuk tata-ulang geopolitik dan ekonomi global.
Globalisasi menawarkan keterbukaan arus barang, jasa, manusia, duit, dan informasi global. Ini ideologi utama ekonomi neo-liberal. Ideologi neo-liberal selama ini, tulis Profesor Stephanie Lee Mudge (2008) dari University of California, Berkeley (AS), dikenal dari programnya yakni privatisasi, liberalisasi, depolitisasi, deregulasi, dan moneterisme.
Baca juga: PBB Serukan Gencatan Senjata 4 Hari di Ukraina, Hormati Pekan Suci Ortodoks
Integrasi pasar-pasar dunia melalui program neolib adalah agenda globalisasi; ‘globalisasi’ dan ‘pasar’ adalah dua sisi pokok dan kembar dari keyakinan neolib (Steger, 2003:7). Keyakinan ini lahir dari ilham gagasan antara lain Herbert Spencer, Frederick Hayek, dan Milton Friedman; bahwa globalisasi adalah fenomena tidak terelakan dan tidak dapat diubah; Pesan-pesan ini, misalnya, kita dengar dari pidato Presiden AS Bill Clinton (1999) atau CEO FedEX seperti Frederich W. Smith (1999).
Namun, sanksi ekonomi AS dkk terhadap Rusia melahirkan sosok politisasi ekonomi, blok-blok baru ekonomi dunia, tata-ulang privatisasi, perdagangan, kebijakan ekonomi, regulasi, keuangan, moneter, hingga persenjataan. Tata baru ekonomi dunia sekilas bergerak dari tata multipolar ke bipolar berbasis geoekonomi-politik. Ini antara lain tantangan agenda Presidensi G20 di Bali pada awal November mendatang.