Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggapi Kasus Navalny, OPCW Nyatakan Siap Melibatkan Diri

Kompas.com - 04/09/2020, 09:25 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

Sumber AFP

DEN HAAG, KOMPAS.com – Kepala badan pengawas senjata kimia dunia menyatakan "keprihatinan yang besar" setelah Jerman mengatakan pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny telah diracuni dengan racun saraf Novichok.

Pernyataan itu dikeluarkan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) pada Kamis (3/9/2020) sebagaimana dilansir dari AFP.

Direktur Jenderal OPCW Fernando Arias menambahkan, badan yang bermarkas di Den Haag, Belanda, itu siap membantu setiap negara anggota yang meminta bantuan.

"Di bawah Konvensi Senjata Kimia, setiap seseorang yang keracunan melalui penggunaan racun saraf dianggap sebagai penggunaan senjata kimia. Tuduhan semacam itu adalah masalah yang sangat memprihatinkan," kata Arias dalam sebuah pernyataan.

Baca juga: Kasus Keracunan Navalny, Serupa Kasus Keracunan Novichok di Tahun Silam yang Belum Diadili

Dia menambahkan bahwa penggunaan senjata kimia oleh siapa pun dalam keadaan apa pun adalah tindakan tercela dan sepenuhnya bertentangan dengan norma hukum yang ditetapkan oleh komunitas internasional.

"OPCW terus memantau situasi dan siap untuk terlibat dengan dan membantu setiap negara pihak yang mungkin meminta bantuan," tambah Arias.

Jerman mengatakan pada Rabu (2/9/2020) bahwa mereka akan menghubungi pengawas senjata kimia tentang kasus tersebut tetapi tidak mengatakan apakah akan meminta bantuan.

Pada 2018, Inggris meminta bantuan OPCW setelah mata-mata Rusia, Sergei Skripal, diracuni di kota Salisbury, Inggris. OPCW mengonfirmasi bahwa racun Novichok digunakan dalam kasus tersebut.

Baca juga: Kremlin Bantah Klaim Bahwa Navalny Diracun dengan Novichok

Larangan Novichok

Setelah kasus Skripal, negara-negara anggota OPCW secara resmi menyetujui melarang Novichoks pada November 2019.

Novichoks adalah racun saraf kelas militer yang dikembangkan oleh Uni Soviet selama Perang Dingin.

Rusia awalnya menentang langkah tersebut tetapi mengalah setelah berkompromi dengan negara-negara Barat tentang bahan kimia mana yang harus dimasukkan.

Tetapi permintaan bantuan dari Jerman atas dugaan keracunan Navalny dapat memicu ketegangan baru di OPCW antara negara-negara Barat dan blok pimpinan Rusia di organisasi tersebut.

Meski mendapat tentangan kuat dari Moskwa, OPCW diberikan kekuasaan baru pada 2018 untuk mengidentifikasi pelaku di balik serangan kimia.

Baca juga: Mengenal Novichok, Racun Saraf Era Uni Soviet yang Diduga Dipakai Meracuni Alexei Navalny

Sebelumnya, OPCW hanya memiliki otoritas untuk menyimpulkan apakah adanya penggunaan senjata kimia yang digunakan atau tidak.

Sebuah "tim investigasi dan identifikasi" OPCW yang baru mengeluarkan laporan pertamanya pada bulan April, menyalahkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad atas serangkaian serangan sarin dan klorin.

“Tim juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi pelaku di tempat lain jika diminta oleh pihak negara yang ingin menyelidiki kemungkinan penggunaan senjata kimia di wilayahnya," kata OPCW.

Ketegangan juga meningkat di OPCW sejak Belanda mengusir empat orang Rusia pada 2018 setelah menuduh mereka adalah mata-mata yang mencoba meretas sistem komputer pengawas.

OPCW memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2013 atas usahanya menghancurkan persenjataan senjata kimia dunia.

Baca juga: Pemimpin Oposisi Rusia Alexei Navalny Diduga Diracun dengan Racun Saraf Novichok

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Menlu Turkiye Akan Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Menlu Turkiye Akan Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Global
Vatikan dan Vietnam Akan Menjalin Hubungan Diplomatik Penuh

Vatikan dan Vietnam Akan Menjalin Hubungan Diplomatik Penuh

Internasional
New York Kembalikan 30 Artefak yang Dijarah ke Indonesia dan Kamboja

New York Kembalikan 30 Artefak yang Dijarah ke Indonesia dan Kamboja

Global
Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Global
Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Global
Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Global
Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Global
China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

Global
Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Global
Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Global
Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Global
Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Global
China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

Global
Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Global
Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com