JAKARTA, KOMPAS.com - Konsumsi kopi, bukan hanya di Indonesia, melainkan seluruh dunia, kian meningkat dari tahun ke tahun.
Manajer Proyek Realitas Iklim Indonesia Amanda Katili Niodem mengatakan, ada sebanyak dua seperempat miliar cangkir kopi yang dikonsumsi di dunia setiap harinya.
Angka tersebut diperkirakan akan makin meningkat mencapai dua kali lipat pada tahun 2050.
Baca juga: Apakah Minum Kopi Baik untuk Wajah? Berikut Penjelasannya…
"Sedangkan lahan untuk kopi karena perubahan iklim akan berkurang setengahnya," kata Amanda dalam konferensi konferensi pers Amsterdam Coffee Festival 2024 di Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024).
Krisis iklim yang dimaksud adalah perubahan cuaca panas ekstrem di sejumlah negara, serta es meleleh yang terjadi di belahan bumi utara.
Lihat postingan ini di Instagram
Amanda mengatakan, kondisi ini tentu berpengaruh pada produksi kopi dunia, di tengah meningkatnya konsumsi kopi.
"Karena (tanaman) kopi memerlukan curah hujan yang pas, kelembapan yang pas. Kalau tidak, bunganya rontok dan lain sebagainya," ungkap dia.
Beda jenis kopi, beda pula aturan tanamnya. Namun yang pasti, memerlukan daerah tanam di ketinggian tertentu dan suhu tertentu untuk menghasilkan kopi berkualitas tinggi.
Misalnya, kopi arabika baik ditanam di ketinggian 1.200-1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara, kopi robusta yang bisa ditanam di kisaran 600-800 mdpl.
Kopi robusta lebih tahan pada suhu tinggi. Idealnya berkisar 22-28 derajat celsius, sedangkan kopi arabika tumbuh dengan baik di suhu 18-22 derajat celsius.
Belum lagi, petani perlu menghitung kebutuhan curah hujan kopi yang tidak boleh berlebih. Kopi robusta akan tumbuh baik dengan curah hujan 2.000-2.500 milimeter (mm) dan tanaman kopi arabika hanya memerlukan curah hujan sekitar 1.400-2.000 mm.
Baca juga:
Dikutip dari berita Kompas.com yang tayang pada Kamis (23/12/2021), produksi robusta lebih banyak daripada arabika. Jumlanya berkisar 70 persen robusta dan hanya 30 persen arabika.
Eko Purnomowidi, Co-Founder Koperasi Petani Klasik Bean, menuturkan bahwa tidak ada pilihan bagi petani selain menetap di satu lahan tanam kopi, bahkan saat krisis iklim terjadi.
Petani kopi harus memutar otak, mencari jalan keluar demi menyelamatkan lahan kopinya di tengah masalah lingkungan.
"Dari ketidakadaan pilihan itu, kita belajar tentang budaya masa lalu kita, yaitu berkebun dengan agroforestri," kata Eko.