Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Tumpeng dalam 2 Versi, dari Kepercayaan Kapitayan dan Sunda Wiwitan

Kompas.com - 14/12/2020, 09:12 WIB
Ryana Aryadita Umasugi,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kamu pasti sudah tak asing dengan tumpeng atau nasi tumpeng. Tumpeng dikenal sebagai makanan masyarakat Jawa yang penyajian nasinya dibentuk kerucut dan ditata bersama dengan lauk-pauknya.

Olahan nasi yang dipakai ada beberapa macam yakni berupa nasi kuning, nasi putih biasa, atau nasi uduk.

Travelling Chef Wira Hardiansyah, menjelaskan ada dua versi sejarah mengenai tumpeng. Pertama berasal dari kepercayaan Kapitayan.

Kapitayan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Jawa kuno, yang memuja Tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Arti Sanhyang Taya sendiri adalah hampa atau kosong.

Baca juga: Resep Tumpeng Mi Instan, Unik dan Murah Meriah!

Menurut dia, penganut Kapitayan percaya bahwa kekuatan-kekuatan itu muncul dari titik titik tertentu. Pada titik tertentu seperti pintu inilah yang kemudian diletakkan sesajen oleh masyarakat kapitayan.

“Sesaji ini yaitu ayam, belum diklarifikasi ini ayam hidup atau ayam sudah ada pengorbanan dan keranjang bunga," ucap Wira, dalam acara webinar virtual Sarasehan Tumpeng oleh Aksara Pangan bekerja sama dengan Teknologi Pertanian UGM, Jumat (11/12/2020).

"Nah, ayam dan keranjang bunga inilah yang disebut dalam buku tersebut tumpeng,” lanjutnya.

Versi sejarah tumpeng dari Sunda Wiwitan

Sejarah nasi tumpeng yang kedua, dilihat dari kepercayaan Sunda Wiwitan.

Baca juga: Apa Itu Teknik Masak Aron? Buat Nasi Kuning Tumpeng Lebih Awet dan Wangi

 

Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur dan bersatu dengan alam. Kepercayaan ini dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.

Ilustrasi nasi tumpengShutterstock/triocean Ilustrasi nasi tumpeng

Wira berujar, sejauh kita mengenal konsep gunung, masyarakat sunda punya dongeng yaitu gunung itu lahir berdasarkan sinergi antara tata surya.

Orang zaman dulu menyebut matahari sebagai Sang Batara Guru atau Agung, dan bumi disebut Dewi Bumi.

Akibat matahari dan bumi itu terus bersinergi maka muncul lah gunung. Maka bagi orang Sunda, gunung dianggap sakral.

“Jadi orang Sunda Wiwitan mensakralkan yang namanya gunung, karena bagi mereka gunung itu ialah Parahyang atau Gunung Agung Batara Guru,” tuturnya.

Baca juga: 5 Tips Bikin Nasi Tumpeng, Cara Masak sampai Trik Agar Tak Mudah Basi

Ia melanjutkan, bentuk tumpeng bagi orang sunda itu hampir mirip dengan matahari. Bila kuning dari tumpeng dianggap berasal dari agama Hindu, ia menyebytkan sebenarnya tidak.

“Sebetulnya kuning tersebut jauh sebelum Hindu, disimbolkan sebagai warna matahari,"jelasnya. 

"Orang Sunda Wiwitan menaruh nasi tumpeng dengan ayam. Ayamnya tidak mati, karena bagi mereka itu pengorbanan. Tapi ayamnya hidup, jadi nasi dan ayam,” pungkas Wira.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com