KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) resmi melarang hakim mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dan keyakinan.
Melalui Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, larangan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum antarumat berbeda agama.
Surat edaran tersebut pun mendapat respons sejumlah warganet, salah satunya pengguna Twitter ini, Rabu (19/7/2023).
"Tapi kalau menikahnya di LN, lalu dicatatkan di Indonesia. Itu bisa. Akhirnya cuma orang berduit saja yang bisa melakukannya. Yang gak berduit paling apes emang kalau soal beginian," tulisnya.
Hingga Kamis (20/7/2023) siang, unggahan itu telah menuai lebih dari 990.000 tayangan, 2.500 suka, dan 600 twit ulang dari pengguna Twitter.
Lantas, benarkah pernikahan beda agama yang dilakukan di luar negeri dapat dicatat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil)?
Baca juga: MA Larang Pengadilan Kabulkan Nikah Beda Agama, Perkawinan Tidak Akan Dicatat Dukcapil
Direktur Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Teguh Setyabudi menegaskan, Disdukcapil hanya mencatatkan telah terjadi perkawinan.
Menurut dia, tugas Disdukcapil hanya sebatas mencatatkan, kemudian memberikan surat keterangan pelaporan perkawinan di luar negeri.
"Hanya mencatat telah terjadi perkawinan, tidak mengesahkan," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/7/2023).
Teguh menambahkan, pencatatan tersebut dapat dilakukan sepanjang terdapat marriage certificate atau sertifikat pernikahan yang telah diterbitkan di luar negeri.
"Tugasnya hanya mencatat, sepanjang ada sertifikat married yang diterbitkan di luar negeri, maka dapat diterbitkan surat keterangan pelaporan perkawinan di luar negeri," terangnya.
Baca juga: Ramai soal Nikah Beda Agama, Bagaimana Aturannya di Indonesia?
Di sisi lain, pernikahan yang tidak dicatat sesuai peraturan perundang-undangan sendiri merupakan perkawinan yang tidak sah di mata negara.
Akibatnya, pernikahan tersebut tidak memiliki legalitas di mata hukum, seperti dilansir Kompas.com (6/7/2022).
Hak-hak suami, istri, serta anak-anak yang dilahirkan pun tidak memiliki jaminan perlindungan hukum.
Misalnya, hak istri untuk menuntut nafkah atau hak anak untuk mendapatkan warisan dari ayahnya.
Selain itu, jika sesuatu terjadi dalam pernikahan tersebut, maka proses pertanggungjawaban tidak bisa dituntut secara optimal.
Sebagai contoh, jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
Undang-Undang KDRT saat ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menjerat suami maupun istri yang melakukan kekerasan karena pernikahan tersebut dianggap tidak sah menurut hukum.
Pada akhirnya, pernikahan yang tidak dicatatkan pada negara dapat merugikan salah satu pihak dalam perkawinan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.