KOMPAS.com - Salah satu tradisi kala Idul Fitri atau Lebaran khas Indonesia adalah halalbihalal.
Halalbihalal biasanya diselenggarakan mulai dari lingkup keluarga besar, teman lama, atau tempat bekerja.
Karena momennya hanya sekali dalam setahun, halalbihalal kerap dijadikan sebagai ajang reuni atau temu kangen teman lama.
Acara halalbihalal sendiri dikemas secara beragam, tergantung kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat.
Baca juga: Sejarah Halalbihalal, Arti, dan Maknanya di Momen Idul Fitri
Namun, tahukah Anda jika istilah halalbihalal mulanya sarat akan kepentingan politik?
Kala itu, situasi politik dalam negeri begitu memanas pada 1948. Pasalnya, para elite berseteru akibat perbedaan aliran politik pada era kabinet parlementer serta munculnya pemberontakan.
Di saat bersamaan, Belanda juga sedang bernafsu untuk menjajah kembali Indonesia, sehingga membuat Presiden Soekarno khawatir akan adanya disintergrasi bangsa.
Kondisi ini membuat Bung Karno memutar otak agar bisa menciptakan rekonsiliasi dan mencegah perpecahan.
Baca juga: [KLARIFIKASI] Foto Viral Praja IPDN Halalbihalal di Tengah Pandemi Virus Corona
Harian Kompas, 16 Mei 2021, memberitakan, salah satu upaya yang dilakukan oleh Bung Karno adalah mengundang para elite politik untuk bertemu di Istana Kepresidenan yang saat itu bertempat di Gedung Agung, Yogyakarta.
Sayangnya, usaha ini gagal. Tak satu pun tokoh memenuhi undangan Bung Karno.
Ia pun kemudian mengundang Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Wahab Hasbullah untuk berembuk mengenai situasi politik di Indonesia.
Kepada Bung Karno, KH Wahab mengusulkan adanya acara silaturahmi nasional untuk mempertemukan para elite bangsa. Kebetulan, saat itu mendekati Idul Fitri.
Baca juga: Lebaran Berpotensi Berbeda, Bolehkah Shalat Idul Fitri Dua Kali?
Bung Karno tak langsung menerima usulan itu karena menganggap diksi silaturahmi terlalu umum.
KH Wahab kemudian mengusulkan nama "halalbihalal" untuk pertemuan para elite bangsa itu.