RELASI kuasa menjadi frase yang cukup ramai diperbincangkan publik Indonesia belakangan ini. Frase itu digunakan salah satunya dalam pembicaraan terkait beberapa oknum kepolisian yang sedang menjalani proses hukum.
Sederhananya, sejumlah orang beranggapan bahwa keterlibatan beberapa oknum polisi pada kasus pidana seperti pada kasus Ferdy Sambo (FS) dan Teddy Minahasa (TM) adalah karena relasi kuasa. Para oknum itu tak bisa mengelak perintah dari atasan, meski perintah itu jahat dan keji.
Relasi kuasa adalah konsep subyektif yang merefleksikan bagaimana wewenang/kekuasaan muncul akibat hubungan antar-manusia (Qin, 2018).
Dalam konteks itu, insan-insan dalam kelompok tertentu meyakini bahwa mereka punya posisi tertentu, yang kemudian menempatkan mereka di atas dan di bawah orang lain. Yang lebih atas memerintah yang lebih di bawah. Yang di bawah ‘terwajibkan’ melaksanakan perintah.
Baca juga: Irma Hutabarat: Tak Masuk Akal Putri Diperkosa, dari Sisi Relasi Kuasa maupun Karakter Brigadir J
Dalam kelompok tertentu, ruang kompromi sangat sempit, atau bahkan tak ada sama sekali.
Militerisme, pada batas tertentu, adalah refleksi dari pelembagaan relasi kuasa tersebut, di mana mereka yang berpangkat lebih tinggi berwenang memerintah, yang rendah diperintah.
Terkait kasus pidana yang melilit FS dan TM, meski secara fundamental polisi adalah sipil yang bersenjata, dalam konteks administrasi kenegaraan di Indonesia, manajemen dan kultur lembaga kepolisian bernafas militer. Hal ini juga yang agaknya menjadi titik tolak beberapa oknum mencoba keberuntungannya untuk lepas dari proses peradilan.
Argumennya, aksi ilegal dan keji yang mereka lakukan karena relasi kuasa; mereka tak berdaya diperintah, bukan inisiatif mereka pribadi. Menolak perintah adalah kesalahan fatal yang, diyakini, secara fundamental berdampak buruk pada hidup mereka.
Beberapa pihak menekankan bahwa Polri bukanlah militer. Hanya TNI-lah yang militer. Memang benar. Tapi kultur militeristik ini sayangnya sudah mendarah daging di dalam kepolisian kita, yang mengakar khususnya di era ABRI pada masa Orde Baru.
Kultur itu beserta relasi kuasanya tentu punya manfaat. Pengambilan keputusan yang sentral menjamin solidaritas dan soliditas organisasi. Berbeda dengan administrasi pemerintahan daerah yang telah otonom (yang juga sering rancu), Polri dan TNI masih satu komando dari markas besar (mabes) di pusat, hingga koramil atau polsek di daerah.
Namun relasi kuasa itu akan berbuah penyalahgunaan wewenang, atau bahkan kekejian, jika tak dilengkapi atau ditopang dengan kebijaksanaan, yang setidaknya termanifestasi dalam dua nilai atau prinsip: daya pikir kritis dan rasa kemanusiaan.
Daya pikir kritis, disebut juga critical thinking, merefleksikan kapasitas untuk mencerna dan mengkritisi setiap perintah. Bagi atasan yang memerintah, tentu penting untuk memastikan bahwa apa yang diperintahkan berbasis data atau pun bukti.
Kapasitas itu jelas memerlukan kemauan yang kuat untuk senantiasa berpangku pada perkembangan ilmu pengetahuan sebelum mengeluarkan perintah. Selain perintah yang dikeluarkan adalah yang berkualitas dan bertujuan positif, yang memberi perintah pun adalah pribadi yang senantiasa mengacu pada perkembangan iptek dalam mengambil keputusan.
Baca juga: Pentingnya Berpikir Kritis Sebagai Benteng Diri di Era Kini
Dengan critical thinking, yang menerima perintah juga punya daya analisis sebelum melaksanakannya. Setiap perintah dipertimbangkan dampak dan risikonya, bukan dijalankan semata-mata hanya karena patuh pada perintah.
Daya pikir kritis, jika dimiliki dan ditumbuhkan secara lebih efektif pada insan-insan yang berkarir milisterisme, akan berbuah pada kualitas, kontekstualitas perintah dan efektivitas implementasinya.