SATU di antara sekian banyak cara kaum penjajah dari kawasan yang disebut Barat mematahkan resistensi kaum terjajah di kawasan yang disebut Timur adalah dengan melecehkan tradisi lisan sebagai warisan peradaban Timur.
Tradisi lisan distigmasisasi sebagai ciri kebudayaan taraf rendah yang membedakan kaum terjajah dengan kaum penjajah yang meyakini bahwa tradisi tulisan jauh lebih tinggi harkat dan martabat ketimbang tradisi lisan.
Pada hakikatnya anggapan bahwa tradisi tulisan lebih unggul ketimbang tradisi lisan paradoks realita sejarah masyarakat Barat yang mayoritas Nasrani bahwa Jesus Kristus dalam mewariskan ajaran kearifan Nasrani tidak pernah menggunakan bahasa tulisan.
Sama halnya dengan kitab-kitab suci Buddhisme tidak ditulis oleh Siddharta Gautama, tetapi oleh murid-murid sang Budhha.
Kitab suci Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh Jesus Kristus sendiri, tetapi oleh para rasul Jesus Kristus.
Secara sekular meyakini tradisi tulisan lebih superior ketimbang tradisi lisan sama absurd dengan meyakini steak chateaubriand mahakarya super-chef Alain Ducasss dengan rentetan bintang Michelin lebih lezat ketimbang sate sapi mahakarya pak Kempleng tanpa bintang apa pun.
Estetika bukan senantiasa namun bahkan niscaya nisbi tertaut secara subyektif pada selera setiap insan manusia yang mustahil diseragamkan. Kecuali dipaksakan.
Maka wajar rezim penjajah yang memang berkuasa membakukan bahkan membekukan kaidah selera tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mematahkan semangat kebanggaan nasional kaum terjajah di persada Nusantara yang dampaknya masih terasa sampai masakini setelah 77 tahun Indonesia merdeka.
Ketika saya ingin menyetarakan kearifan leluhur bangsa Indonesia dengan kearifan leluhur bangsa Barat senantiasa ada pihak nenertawakan saya sebagai si pungguk merindukan rembulan dengan alasan bahwa kearifan leluhur bangsa Indonesia tidak terstruktur secara sistematis dalam bentuk tulisan, maka tidak layak disebut sebagai filsafat.
Tatkala saya ingin menyetarakan jamu dan kebudayaan kesehatan leluhur Nusantara dengan obat farmasi dan kebudayaan kesehatan leluhur Barat maka hasrat saya dikandaskan dengan alasan bahwa jamu dan kebudayaan kesehatan leluhur Nusantara belum memiliki tradisi tulisan, apalagi yang disepakati sebagai ilmiah oleh kaum akademisi peradaban pemikiran Barat.
Bahkan sesama warga Indonesia menyibir ketika saya mempergelar wayang orang di Sydney Opera House sebagai upaya mempermalukan bangsa Indonesia atas keyakinan bahwa wayang orang adalah kesenian kampungan.
Maka saya bersikeras membuktikan bahwa wayang orang sama sekali bukan seni kampungan di panggung Sydeny Opera House yang terbukti sukses sehingga lanjut wayang orang dipergelar di panggung UNESCO Paris.
Memang upaya notasifikasi sempat dilakukan terhadap musik jazz dan musik gamelan, namun sukma dasar musik jazz dan musik gamelan pada hakikatnya tradisi lisan.
Dan harus diakui bahwa tradisi lisan lebih leluasa memberikan kesempatan berkarya secara individual tanpa kehilangan daya berkarya secara komunal apabila dibutuhkan.
Pada hakikatnya gotong royong sebagai dasar kearifan kerja sama peradaban bangsa Indonesia berakar pada lahan tradisi lisan.