Kebiasaan-kebiasaan yang tergesa itu ujung-ujungnya hanya semakin memperumit keadaan dan menebalkan persepsi saling curiga.
Pertama-tama, jelas kita perlu menghindar dari pemahaman bahwa akar persoalan penolakan pendirian gereja di Cilegon dan di beberapa daerah di Indonesia disebabkan oleh adanya konflik antar agama atau sentimen Islam terhadap Kristen.
Penolakan tersebut tidak bersumber dari ajaran Islam. Karena memang tidak ditemukan secara qoth’i baik dalam Al Quran maupun sunah.
Bahkan pernah suatu ketika sahabat Nabi yakni Umar bin Khattab tatkala berhasil memasuki Yerusalem, dia menolak untuk melaksanakan shalat di dalam gereja.
Alasannya, bukan karena gereja dianggap tempat yang najis sehingga shalat di dalamnya tidak sah. Tapi karena Umar tidak ingin di masa depan umat Islam menilai hal tersebut sebagai legitimasi untuk merebut gereja dan mengalihfungsikannya sebagai masjid.
Dengan kata lain, sejatinya umat Islam tidak anti terhadap umat Kristen. Tidak ada intimidasi atau bahkan kekerasan yang dialami oleh umat kristiani di Indonesia. Faktanya kehidupan sosial dan ekonomi di Indonesia tetap berjalan beriringan di tengah kemajemukan.
Bila demikian, mengapa kasus penolakan pendirian gereja masih terjadi?
Penentangan pendirian gereja, baik di Cilegon maupun di daerah lain, harus dipahami melalui sudut pandang yang luas. Saya, dalam hal ini, termasuk pihak yang menyangkan adanya penolakan tersebut, karena bagaimanapun setiap rakyat Indonesia berhak untuk beragama sebagai hak yang melekat secara kodrat. Kodratnya itu tidak bisa dikurangi oleh apapun kondisinya.
Namun, kita semua tidak boleh anti untuk melakukan telaah dan introspeksi secara mendalam dan bahkan melakukan semacam evaluasi dari peran tiap-tiap unit di masyarakat yang mewakili komunitas keagamaan tertentu.
Salah satu telaah kritis yang harus kita dalami adalah tentang bagaimana komunitas, dalam kasus di Cilegon adalah komunitas umat kristiani atau di daerah lainnya dalam komunitas beragama lain, dalam kehidupan kesehariannya.
Apakah mereka, dalam komunitas di Cilegon itu misalnya, cenderung tertutup sehingga membuatnya berjarak dengan masyarakat sekitar yang kebetulan beragama Islam.
Baca juga: Terkait Pembangunan Gereja, Wali Kota Cilegon Bakal Hadir ke Kantor Kemenag Besok
Sebab adanya jarak itu juga memungkinkan tersendatnya bangunan kerja sama dan komunikasi yang sangat penting dalam ranah sosial. Sehingga, setiap upaya menyangkut urusan keagamaan yang tidak terkomunikasikan dengan baik hanya akan melahirkan persepsi curiga.
Hal ini bisa semakin diperparah dengan kenyataan bahwa masih terdapat pemeluk agama Islam yang memelihara stereotipe terhadap gereja yang di antaranya dinilai sebagai: pertama, gereja dianggap sebagai sarana gerakan kristenisasi yang sistematis.
Kedua, gereja dipandang sebagai simbol yang menghadirkan trauma sejarah yang terkait dengan pengalaman pahit ketika masa kolonial bercokol. Ketiga, gereja dinilai sebagai ancaman terhadap hegemoni Islam.
Apa yang dipersepsikan umat Islam di beberapa daerah terhadap gereja tidak dapat sepenuhnya diangap sebagai kesalahan kolektif. Sebagaimana kita juga perlu meluruskan persepsi atau stereotip yang keliru tentang gereja yang tidak boleh terpatri dalam benak umat Islam di Indonesia.