KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J merupakan tindakan extra judicial killing.
Hal tersebut berdasarkan temuan faktual melalui konstruksi peristiwa dan analisis faktual dari peristiwa pembunuhan yang terjadi pada 8 Juli silam.
"Terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J yang merupakan tindakan extra judicial killing yang memiliki latar belakang adanya dugaan kekerasan seksual," isi laporan Komnas HAM yang dipaparkan di Jakarta, dikutip dari Kompas.com (1/9/2022).
Menurut Komnas HAM, extra judicial killing terhadap ajudan Irjen Ferdy Sambo ini terjadi dengan perencanaan di rumah pribadi, di Jalan Saguling, Jakarta Selatan.
Lantas, apa itu extra judicial killing?
Abhilasha Shrawat dalam Extra-Judicial Killing and the Role of International Criminal Court (2015) menuliskan, extra judicial killing adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan aparat negara tanpa melalui proses pengadilan maupun proses hukum.
Dilihat dari kacamata HAM, extra judicial killing merupakan tindakan yang tidak menghormati hak untuk hidup milik orang lain.
Bahkan, menurut Jaka Susila dalam The Indonesia Journal of Legal Thought (2021), extra judicial killing atau unlawful killing dalam proses penegakan hukum lebih mirip seperti perang.
Pasalnya, peristiwa ini memprioritaskan persangkaan kesalahan dengan jalan membunuh. Padahal di sisi lain, tidak semua keadaan dapat diselesaikan dengan membunuh.
Adapun, Zainal Muhtar dalam Jurnal Supremasi Hukum (2014) mengungkapkan, extra judicial killing dapat diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang mati tanpa melalui proses hukum atau putusan pengadilan.
Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa ciri dari tindakan extra judicial killing, antara lain:
Baca juga: 6 Polisi Jadi Tersangka Obstruction of Justice Terkait Pembunuhan Brigadir J, Apa Itu?
Extra judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan adalah tindakan yang dilarang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Pasal 6 sampai Pasal 27 International Covenant on Civil and Political Rights menetapkan, setiap manusia mempunyai hak hidup.
Hak hidup tersebut dilindungi oleh hukum, dan tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Selain itu, Pasal 28A UUD 1945 turut menjamin, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.