Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Laurentius Purbo Christianto
Dosen

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Belajar Mencari Kebenaran dari Kisah Gandamana dan Suman

Kompas.com - 05/08/2022, 10:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS meninggalnya Brigadir J menjadi perhatian masyarakat. Kabar yang simpang siur tentang kasus ini menimbulkan berbagai macam hoaks. Pernyataan dari para pihak terkait, termasuk berbagai pandangan masyarakat, melalui berbagai media membuat kesan bahwa sedang terjadi perebutan kebenaran.

Satu pihak menganggap pihak lain salah. Pihak yang tertuding juga menyatakan hal yang sama, bahwa mereka benar dan yang lain salah. Untuk menyikapi situasi semacam ini, kita bisa belajar dari kisah wayang Arya Gandamana dan Arya Suman (yang di kemudian hari berganti nama menjadi Sangkuni).

Gandamana dan Suman merupakan bawahan Pandu, Raja Kerajaan Hastina. Gandamana adalah patih Kerajaan Hastina, sedangkan Suman adalah lawan politiknya.

Baca juga: Sengkuni dan Politik Adu Domba: Belajar Karakter Manusia dari Kisah Pewayangan

Kisah Gandamana dan Suman diawali saat mereka berdua diperintahkan Raja Pandu untuk mengakhiri pemberontakan Raja Tremboko dari Pringgadani. Di perjalanan, saat hendak menuju Pringgadani, Suman menjebak Gandamana dengan tujuan untuk membunuhnya.

Suman mengira Gandamana telah mati dalam jebakannya. Ia kemudian pulang ke Hastina, lalu melapor kepada Raja Pandu bahwa Gandamana telah tewas. Suman menceritakan bahwa Gandamana turut memberontak dan berpihak kepada musuh, sehingga dia terpaksa membunuhnya.

Suman memfitnah Gandamana. Raja Pandu mempercayai kata-kata Suman, lalu menganggapnya sebagai pahlawan.

Di luar perkiraan Suman, ternyata Gandamana tidak mati. Gandana berhasil lolos dari jebakan Suman. Dia kemudian kembali ke Kerajaan Hastina. Gandamana membuktikan bahwa dia tidak bersalah, lalu mencari Suman. Setelah menemukannya, Gandamana menyeret serta menghajar Suman hingga babak belur.

Raja Pandu mengetahui Gandamana telah main hakim sendiri. Sang Raja kemudian menurunkan posisi Gandama dari patih Kerajaan Hastina.

Suman, yang kondisinya wajahnya hancur lalu berganti nama menjadi Sangkuni, yang selanjutnya akan dikenang dalam kisah Mahabarata sebagai sosok yang licik dan culas.

"Becik ketitik, ala ketara"

 

Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kisah itu tertuang dalam pribahasa bahasa Jawa yaitu becik ketitik, ala ketara.  Maknanya adalah bahwa hal yang benar akan diperhatikan dan ditegaskan, sedangkan yang buruk pada akhirnya akan diketahui.

Pada situasi perebutan kebenaran akan terjadi simpang siur informasi, bahkan hoaks, karena berbagai pihak yang terlibat akan memberikan argumen dan bukti-bukti pembenaran. Situasi semacam itu sangat berbahaya, bisa saja terjadi distorsi, dan masyakat yang menyaksikan atau mendengar bisa membuat kesimpulan yang salah.

Baca juga: Timsus Kasus Brigadir J Akan Evaluasi Penanganan Laporan yang Pernah Ditangani Polda Metro dan Polres Jakarta Selatan

Pembuatan kesimpulan yang salah dapat menuntun orang pada perilaku main hakim sendiri. Perilaku main hakim sendiri tidak hanya secara fisik tetapi juga melalui kata-kata, sikap, dan pikiran.

Becik ketitik, ala ketara menggambarkan keyakinan orang Jawa bahwa setiap kebenaran akan ditegaskan. Melalui keyakinan ini, setiap pihak mestinya dapat jujur dan terbuka dengan apa yang terjadi, karena bagaimanapun manipulasi atau kebohongan suatu saat  akan terungkap.

Kisah Gandamana dan Suman menunjukkan bahwa setiap pihak yang merasa benar harus memperjuangkan kebenarannya. Perjuangan itu mungkin berat, bahkan mempertaruhkan nyawa, tetapi kebenaran akan selalu terungkap di ujung kisah.

Bagi anggota masyarakat, kisah Gandamana dan Suman juga mengajarkan bahwa setiap orang punya peluang untuk membuat kesimpulan yang salah, apa lagi bila kasusnya sangat personal dan melibatkan emosi. Karena itu, setiap pihak perlu mengendalikan diri dan berhati-hati dalam membuat kesimpulan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com