Perkiraan kasar dari aktivitas angkutan laut adalah terdiri dari : 80 persen China Crude Oil imports; dan 60 persen Japan, Korsel, dan Taiwan energy supplies.
Sementara itu, sebagai catatan, oil transportation yang melewati Selat Malaka lebih dari enam kali lipat terusan Suez.
Khusus untuk lalu lintas di Selat Malaka :
Uraian tersebut dengan sangat gamblang mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa perbatasan kritis kita adalah yang terletak di Selat Malaka dan di daerah perairan tenggara negara Indonesia.
Dari kenyataan yang ada, kedua perbatasan kritis tersebut merupakan daerah perairan yang rawan. Ditambah lagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki garis pantai paling panjang, yaitu 54.716 Km. Dengan demikian, bila kita ingin membangun pagar pada perbatasan kritis tersebut, tidak bisa tidak kita harus berorientasi kepada kekuatan armada laut.
Sekedar catatan sejarah yang patut dicermati. Sejak dahulu kala, runtuhnya negara-negara pantai di Asia Tenggara oleh kekuatan Barat karena lemahnya kekuatan laut yang dimiliki dalam menghadapi armada laut negara-negara Eropa (kolonial). Kesimpulan ikutannya adalah sesudah disepakati bahwa we need sea power. Maka, harus senantiasa diingat bahwa sea power will be nothing without air power, without air superiority. (Ingat tragedi Laut Aru)
Khusus peristiwa 911, kejadian tersebut telah memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam konteks yang ternyata ancaman bisa juga datang dari aktivitas yang tidak terduga yaitu operasional dari penerbangan sipil. Civil Aviation ternyata juga sudah masuk dalam kategori potential threat.
Dari sinilah kemudian muncul penataan ulang di banyak negara di dunia terkait pengaturan lalu lintas penerbangan dengan melebur Civil – Military Air Traffic Flow Management System dalam satu wadah pengorganisasian pertahanan negara. Itu pula sebabnya kemudian isu dari pengaturan penerbangan sipil dan masalah FIR Singapura yang tengah kita hadapi haruslah dipandang sebagai satu masalah serius yang sangat penting dalam konteks pertahanan negara.
Dia sudah bukan lagi menjadi domainnya Kementrian Perhubungan belaka, namun sudah harus menjadi bagian lintas institusi yang terintegrasi dari tugas-tugas Kementrian Luar Negeri, Kementrian Pertahanan , Kementrian Dalam Negeri dan tentu saja Mabes TNI serta jajaran Pertahanan Udara Nasional. Sebab yang paling utama adalah karena kawasan tersebut berada tepat di perbatasan kritis.
Daerah perbatasan kritis, yang secara alamiah selalu menjadi tempat berlatihnya kekuatan perang dalam mempersiapkan dan memelihara combat readiness. Kawasan perbatasan, terutama kawasan perbatasan kritis adalah tempat yang harus menjadi lokasi yang “familiar” dari kekuatan unsur tempur angkatan perang suatu negara. Border dispute selalu berawal dari daerah perbatasan yang kritis.
Baca juga: Kemenhan Targetkan Minimum Essential Force Tercapai dalam 5 Tahun
Dengan bentuk yang unik, Indonesia sebagai satu negara kepulauan yang terletak pada posisi strategis, serta memetik pelajaran dari sejarah peperangan yang pernah terjadi di muka bumi ini, maka keterpaduan matra dalam hal ini darat, laut, dan udara merupakan pilihan yang mutlak dalam konteks perencanaan pembangunan kekuatan yang efisien.
MEF, selayaknya tidak hanya terfokus kepada proses pengadaan alutsista belaka, akan tetapi juga harus menyentuh sistem senjata secara utuh dan mekanisme kerja yang bertopang kepada pengorganisasian dari postur angkatan perang. Dalam hal ini adalah angkatan perang negara kepulauan terbesar di dunia. Beberapa hal patut dipertimbangkan dengan tujuan efisiensi, antara lain mengenai keberadaan Mabes TNI dan organisasi angkatan udara yang terpisah dari unit tempur sistem pertahanan udara nasional.
Hal ini selalu akan berhubungan dengan sekali lagi efisiensi penyiapan combat readiness yang akan berpengaruh besar kepada sistem komando dan pengendalian, kesiapan SDM dan alusista yang digunakan. Efisiensi di sini akan sangat memengaruhi penggunaan anggaran yang memang sudah terbatas itu.
Penggunaan yang cukup luas dimulai di dalam negeri sendiri telah merangsang beberapa negara seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand untuk menggunakannya juga. Patut diingat bahwa bertambahnya jumlah produksi satu pesawat akan sekaligus beriring dengan proses penyempurnaan dari produk tersebut. Semakin banyak digunakan, satu produk pesawat akan bergulir pula proses penyempurnaannya, seirama dengan banyaknya pula masukan berkait dengan permasalahan yang dihadapi di lapangan.
Proses inilah yang akan berwujud snowball yang bergulir, melibatkan banyak pihak lain yang terkait dengan produk pesawat terbang tersebut. Misalnya, CN-235 yang tadinya hanya untuk pesawat angkut ringan telah berkembang dengan beberapa variannya seperti patroli maritim, pesawat VIP, dan sebagai pesawat multiguna seperti peran pembuat hujan buatan dan lain sebagainya. Sayangnya keberlanjutan produk CN-235 ini terhenti sejak PTDI mulai berkonsentrasi kepada produk-produk lain.