Jantung dari mitologi itu adalah kekuatan yang menjadi elemen dari sesuatu yang tidak dapat dikontrol, tetapi sekaligus perlu dikontrol (Siegel, 2010).
Dalam berbahasa, elemen itu bisa menimbulkan kerawanan dan kerapuhan yang berpotensi menghasilkan masalah sosial.
Contohnya, “Cina”, misalnya. Sebagai bahasa sehari-hari yang bernada ejekan, seperti “Chink”, “Chinese” atau “Intsik”, “Cina” sebenarnya tidak menunjuk pada identitas budaya, melainkan pada identitas politik yang berakar pada kelas sosial tertentu.
Identitas itulah yang digunakan, khususnya selama era Orde Baru, untuk menamai kaum keturunan Tionghoa dalam bahasa diskriminasi rasial yang di awal abad ke-19 dijuluki sebagai “Cina wurung, Londo durung, Jawa Tanggung” (“bukan lagi Cina, belum Belanda, dan Jawa setengah matang”).
Ironisnya, bahkan setelah Orde Baru tumbang, bahasa seperti itu masih saja tetap bertahan.
Karena itulah, bahasa Indonesia yang masih mempermasalahkan tempat dan identitas para pemakainya perlu untuk segera direkonstruksi.
Sebab bahasa yang seperti itu tidak mudah untuk dijadikan sebagai lingua franca.
Sebagaimana telah dikaji oleh Siegel di atas, sejauh bahasa Indonesia tetap bersifat lingua franca, internasionalisasi bahasa tersebut tidak akan menimbulkan masalah apapun.
Sebab dalam bahasa itu sudah terjalin konsensus di antara para pemakainya untuk tidak saling mencerminkan dan, dengan demikian, tidak saling menyebabkan rasa rikuh.
Dua syarat dasar inilah yang patut dan layak dijadikan pondasi jika bahasa Indonesia tengah disiapkan untuk diajukan sebagai bahasa dunia yang tidak menyebabkan setiap orang kesulitan untuk berbahasa. Beranikah?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.